Saturday, December 21, 2013

Miniatur Kehidupan Mahasiswi

terjunnya bulir-bulir masih membekas di jiwa, tak kering oleh udara
abadi bersama sepotong cerita yang tak hanya bertayub memerdekakan sejenak pikiran yang meraja, sekali lagi bukan hanya sekedar hiburan!
lukisan perjalanan dadakan memotret liku kehidupan penuh sirat.. 
imaginasi tujuan terkancing pada batas khayal, hingga kemudian menjadi nyata!

Seperti beberapa pagi sebelumnya menjemput matahari adalah suatu ritual yang selalu kunanti-nanti. Memecah sunyi ujung malam menenggelamkan diri dalam nikmat menghamba pada sang Maha Pemilik Raja hingga matahari tak malu lagi menerangkan belahan bumi tanah pijakanku. Menengok layar handphone, mengecek waktu, mengecek beberapa aplikasi pesan, dan beberapa akun IM serta jejaring sosial. Berharap ada pesan yang menghampiri tapi ternyata tidak ada. Aku memutuskan mengirim pesan lalu melanjutkan dengan menunggu sembari melanjutkan serangkaian aktifitas yang selalu menemani pagi, bersih-bersih. Layar handphone akhirnya menunjukkan jam 8, penantian yang semestinya berakhir tak kunjung membawa kabar. Aku menunggu kabar teman-teman sekampus. Seperti sabtu biasanya, aku sengaja meluangkan waktu untuk berkeliling kampus sekedar berolahraga ringan dengan bersepada mengitari jalan di kampus IPB yang begitu rindang. Salah satu cara membuat otak menjadi rileks karena beberapa ujian yang mencekamnya. Hehe.

Beberapa menit kemudian, handphone ku berdering. Suara seberang bertanya “La, kamu dmna? Aku udah di kampus”salah satu teman gendutku yulia menelpon, “masih d kosan yulia, baru mau ganti baju”kataku. Dengan sigap membuka lemari mengambil clana training abu-abu, kaos oblong hitamku, dan kerudung yang siap pakai. Karena berniat untuk berkeringat lebih banyak dari biasanya, aku memutuskan untuk “tidak mandi” lalu berangkat ke shelter sepeda kampus yang kira-kira 500 meter dari kosanku.

Seketika aku tercengang ketika melihat shelter sepeda itu tiba tiba menjadi shelter sofa, tidak ada lagi sepeda yang berjejeran memenuhi hanya ada beberapa kursi sofa yang berjejeran. Aku mulai menunduk lesu setelah berbicara pendek pada petugas shelter. Shelter sepeda diliburkan hingga hari senin tanpa kutahu apa sebabnya entah karena reparasi dan perawatan ataukah karena kedatangan pak SBY kemarin. Aku kemudian berjalan ke Yellow Corner, kantin kampus yang berada sebelah barat dari shelter sepeda GWW, menyapa teman sekampus yang hendak bersepeda denganku. Beberapa hari sebelumnya, kami telah merencanakan untuk beramai-ramai bersepeda sabtu pagi. Bahkan teman sekampus yang bermukim di Baranangsiang (yang letaknya cukup jauh dari Dramaga menghabiskan waktu paling sedikit sejam jika menggunakan bus Transpakuan) dengan antusias menerobos jarak hingga tiba di kampus Dramaga. Hingga akhirnya kami berkumpul, Bersepuluh! Sepuluh mahasiswi siap bersepeda akhirnya hanya berbincang ringan di Yellow Corner berpikir untuk mencari alternatif lain pengganti rencana yang gagal.

Entah dari buah pikiran siapa, akhirnya kami memutuskan untuk bersepeda motor saja walau tak tahu kemana arah tujuan. Perbedaan pendapat menjadi semakin sengit hanya untuk menentukan berapa jam kita merental motor dan kemana kita akan pergi. Jam 9 hingga jam 11 hanya untuk sebuah keputusan merental motor untuk 12 jam dengan tujuan Taman Nasional Halimun Gunung Salak yang entah berantah berada di mana. Kami hanya dapat mengetahui informasi melalui beberapa kawan dan google map dengan sepotong klu, disana terdapat “curug” dan “gunung bunder”. Membayangkan tempat yang baru dalam imajinasi dalam deskripsi kabur tentu saja membuat hati tidak tenang, berpikir keras sembari bertanya-tanya sebenarnya tempat seperti apa yang akan kami datangi itu. Kami bersepuluh memulai perjalanan bersama berangkat dari gerbang IPB, kami bersepuluh merental lima motor menjadi 5 pasang. Tiap meter aspal menjadi tanah asing buat kami, tak pernah terjamah dan terbayangkan sebelumnya. Hingga kami bahkan ragu, apakah arah ini benar ataukah justru kami tidak akan tiba pada tempat yang kami inginkan.

Bersepuluh menelusuri Jalan Raya Dramaga menuju Jalan Raya Ciampea, yang masih terlihat begitu ramai. Hingga terlihat palang menuju “gunung bunder” dan arah itu menjadi pertanda kepada kami bahwa kami harus belok kiri. Memasuki jalan itu kami pun menjadi sangsi, jalan raya yang tak terawat khas jalan di daerah pedesaan mulai kami susuri. Sembari bertanya tanya pada penduduk setempat  di setiap kami menemukan persimpangan jalan. Kami semakin bingung, setiap kami menanyakan tujuan kami. Selalu saja muncul dua pendapat yang berbeda, ada yang mengatakan “salah jalan neng, bukan disini tempatnya” lalu menciutkan nyali kami. Ada yang bilang “lurus aja neng satu jam lagi”. Kami akhirnya memtuskan untuk terus hingga akhirnya beristirahat dan makan siang di pertigaan jalan tempat kami mulai linglung lagi untu melanjutkan perjalanan. Setelah sebelumnya kami menunaikan kewajiban menghamba pada sang Pencipta. Tiba di warung makan kami akhirnya tersadar bahwa sebagian besar dari kami tidak membawa uang yang cukup. Hanya membawa beberapa ATM yang jelas tak kami temukan mesinnya disana. Untuk makan saja pas-pasan.  Makan seadanya, dan beberapa harus ngutang ke teman yang lain, termasuk Aku.

Ibu di warung itu menjamu dengan baik, memberikan beberapa informasi yang cukup membantu, “kalau Taman Halimun Ibu nggak tau Neng, kalo Gunung Salah Endah Ibu tau, disana banyak curug juga, lokasinya sekitar 20 menit lagi dari sini” sembari menunjuk arah jalan ke kiri dan menyiapkan makan siang kami. “kalau ke sana dapat gerbang, langsung bayar neng, nah di dalem kalau ke tiap curug bayar lagi” kami langsung terkezut!! (terkezut adalah level yang lebih tinggi daripada terkejut)! Kami tidak mempunyai uang lagi, dan kami tidak tahu menahu bahwa tempat itu berbayar! Dan itu salah kami yang tidak mencari informasi lengkap sebelum berangkat.

Dengan beberapa titipan ibu itu yang mengatakan “Neng bisa bahasa Sunda? Kalo kesana bilang aja kami sodaranya pak Ukar dari Segok, Pak Ukar itu orang yang suka ada proyek disitu, biasanya kalau kesana Ibu biasa kayak gitu dan langsung dilolosin di gerbang” kami akhirnya melanjutkan perjalanan dan menunjuk teman kami si Pipit yang satu-satunya orang Sunda mewakili kami sebagai juru bicara untuk bernego dengan bahasa Sunda di gerbang itu (bernego itu dimaksudkan agar kami boleh masuk tanpa bayar haha).

Perjalanan kami lanjutkan setelah sejam di jalan, dan berharap 20 menit kemudian kami tiba di gerbang dengan rasa was-was karena tidak membawa uang. Ingin pulang kembalipun rasanya sayang. Di tengah perjalanan kami menemukan Indomaret yang dapat bertransaksi Debit Mandiri (bahkan aku sebenarnya heran di desa kecil masih ada indomaret). Kami pun singgah dengan harapan bisa memperoleh sedikit uang dari ATM Mandiri kami (ATM Beasiswa). “Mandirinya lagi Offline neng, yang bisa hanya BCA” kata petugas indomaret itu. Tiba-tiba aku berpikir sesuatu dan memutuskan untuk menghilangkan malu sementara bertanya demi bertahan hidup. “Aa punya BCA? Boleh kami transfer aja ke rekeningnya pake sms Banking, nanti debitnya pake rekening Aa saja.. “ , si petugas itu menyetujui! dan jreng-jreng jreng…tiga ratus ribu sudah tangan. Semoga cukup untuk membiayai beberapa kehidupan selanjutnya. Kami pun melanjutkan perjalan dengan beberapa tanjakan yang berkelok kelok, menikmati hutan rimba di samping kanan-kiri. Hingga mata kami melihat takjub gerbang kokoh bertuliskan “Selamat datang di Taman Nasional Halimun Gunung Salak”.

Kami menyempatkan diri berpose di gerbang itu, sebelum si juru bicara Pipit memulai aksinya untuk meloloskan kami. Pipit akhirnya menuju gerbang pembayaran dengan si Wina yang memboncengnya dan motor-motor kami mengikuti agak pelan dan agak lambat dari belakang. Dengan sambil menatap curiga satu sama lain, kami menebak-nebak apa yang terjadi pada pembicaraan Pipit dengan petugas gerbang pembayaran itu, aku dan Mia bahkan mengeluarkan kata tanpa suara menanyakan “berhasil ga?” lalu kami melihat “Wina mengambil uang dan membayar semuanya” jreng jreng “tidak berhasil” pikirku. Kami kemudian melanjutkan perjalanan melewati gerbang itu sembari menunggu cerita Pipit. Tanpa ditanya Pipit pun langsung bercerita, “Tadi tuh Pipit salah ngomong, salah nama, pipit bilang nya pak Akur, lupa kalau namanya pak Ukar, sampe panjang nanya-nanya nya si bapak itu,  tapi kita di kasi diskon kok, semestinya bayar 50 ribu jadi 20 ribu aja” cerita Pipit dengan khas muka innocentnya. Tentu saja dengan spontan kami semua tertawa terbahak-bahak. Dan ini adalah bagian terseru, terlucu, dan terkonyol pada cerita ini. Beberapa dari kami menyimpulkan “iya Pipit mah ga bisa boong anaknya” haha.

Perjalanan kami lanjutkan menuju curug (curug istilah untuk air terjun di sana), bermodalkan peta kecil yang diberikan oleh pertugas kami memilih untuk ke lokasi Curug Cigamea. Berpose di tiap kawasan, mendapati pohon pinus dan membayangkan bahwa itu adalah tempat Edward Cullen dan Bella, lalu menyusuri jalan bebatuan walau tak terbayangkan dimana curug Cigamea itu sebenarnya. Hingga akhirnya tiba juga di gerbang curug cigamea, dan kami harus menerima kenyataan bahwa dari tempat parikir Curug itu, kami harus menuruni anak tangga sekitar 400 meter dan akan membayang betapa capeknya ketika pulang dengan menaiki tangga. Sepertinya pribahasa bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian menjadi terbalik untuk kasus kami. Setibanya di Curug ya tentu saja kami menikmati dengan berpose, berpose, berpose, berpose, dan hanya terus berpose! Haha (begitulah kegilaan anak muda jaman sekarang).

Hari semakin sore, para sepuluh anggota geng motor mulai pulang dengan motornya masing-masing. Mengitari jalan yang berbeda menuju jalan pulang setidak nya walaupun jalannya berbeda, tapi kali ini tujuan pulang sudah jelas, tidak seperti waktu kami menuju ke tempat itu. Menyusuri sawah-sawah para petani, hingga menemukan titik terang di pertigaan jalan tanda kita menemukan jalan raya poros menuju pulang. Mungkin ini hanyalah sebuah perjalanan, mungkin pula ini hanya sebuah hiburan, itu mungkin saja. Tapi mungkin juga ini adalah sebuah pesan.

Maaf bukan sebuah pesan, tapi beribu pesan. Pesan yang menyirat tidak tampak oleh mata tapi mampu diindrai oleh jiwa. Baju kita memang nampak basah oleh buliran air dari Curug itu, hingga kering seiring perjalanan kita pulang akan tetapi bekas buliran yang menyentuh jiwa tidak mampu kering oleh udara. Ia melukis beberapa potret liku kehidupan kita secara tersirat. Perjalanan ke Halimun baknya miniatur perjalanan hidup kita. Entah dari berapa dimensi yang kita punya. Sebagai Hamba Tuhan, mahasiswi, anak, teman, kerabat, dan sebagainya. Oke, mari kita membahas satu dimensi saja agar tidak panjang, mahasiswi.

Perjalanan ke Halimun yang sebelumnya hanya ada di ruang imajinasi hingga akhirnya bisa kita rasakan di ruang nyata. Seperti itu pula dengan harapan kita kedepan, sepuluh mahasiswi yang akan berimajinasi menjadi lulusan Statistika IPB, sehingga kami mampu mentransformasi ruang imajianasi dan merasakannya hingga ke ruang nyata.  Mungkin juga jalannya berliku seperti ke Halimun, tak punya uang di jalan, berbeda pendapat dengan teman, linglung seperti anak hilang, ditengah jalan ada yang menciutkan nyali karena kita salah jalan, ada yang membantu meminjamkan debitnya, dan beribu potret liku yang mengombang ambing perasaan kita.

Begitu pula dengan kehidupan nyata kita sebagai mahasiswi  yang  kadang masih meragukan diri akan ujian yang mungkin menjadi beban, sejatinya bukan beban tetapi kebutuhan kita menuju tujuan yang masih dalam imajinasi. Kadang kala berbeda pendapat dengan teman sendiri bahkan ketika kita dan sang teman  sekalipun mempunyai tujuan yang sama mencari kebenaran, kadang kala ada juga yang akan menciutkan nyali kita dengan mengatakan kita begini dan begitu padahal itu hanyalah bahasa komunikasi yang belum nyambung sehingga memberi tafsiran seperti itu, atau kadang kala juga ada yang membantu kita melewati hal-hal tersulit sekalipun di tengah beratnya medan tempur perkuliahan J

Satu hal yang coba kujewantahkan maknanya mengenai peristiwa pak Akur dan pak Ukar, tapi tak kunjung kutemukan mungkin di lain kesempatan ya..  atau mungkin diantara teman-teman ada yang mau mengupas edisi khusus Pak Akur dan Pak Ukar yang tertukar. Hehehe.

sepotong cerita menghantar pada tempat di mata sampai di hati
Jalan penuh gurauan ala ala zainuddin dan hayati
mendesau dan melucu baknya kereta tak henti
kita mewarnai tawa mengidap lupa waktu karena mencari
semoga bukan hanya sekedar hiburan, tapi jalan refleksi
ia hanya meniatur kehidupan mahasiswi.

beberapa dokumentasi, masih tanpa editan! 
sepotong cerita hingga pada sebuah gerbang, berpose sebelum Pipit melancarkan aksinya.

beberapa ada yang berkhayal bahwa ini adalah tempat adegan Edward Cullen dan Bella Swan

di dalam taman Halimun salak, ada banyak curug. Curug Ciamea salah satunya,


tidak seperti kata pribahasa, bersenang-senang dahulu bersakit-sakit kemudian ketika pulang harus menaiki tangga dari curug




here we are! air air airr terjun...

jadinya kenapa kayak power ranger ya? *perjalanan pulang

Friday, November 22, 2013

Resah Menjemput Matahari

rumus apa yang akan menjabarkan segala kegundahan akan euforia
mengikat alam fantasi menjauh dari nyata
merobohkan pondasi rapuh mungkin karena terlena 

menjemputmu tak lagi seindah kemarin, aku yang mengacaukannya..

diam-diam aku menguntai janji
berjanji menjemputmu di semua hari
karena ingin menjumpai sang Ilahi
di gelombang yang jelas terdefinisi
sepertiga malam terakhir..

bumi indah menjelma penuh konspirasi
melumpuhkan daya mengejar cinta sang Ilahi
mengkhianati benag-benang janji yang kurajut sendiri
aku tidak terjaga dua malam ini
tubuhku meraung-raung karena merintih
getaran dan sirene pun mengkelabui
menjadi tak sadarkan diri hingga subuh menanti..

Allahumma ‘aafini fi badani ; Ya Allah sehatkanlah badanku
Allahumma ‘aafinii fii sam’ii ; Ya Allah sehatkanlah pendengaranku
Allahumma ‘aafinii fi bashori ; ya Allah sehatkanlah penglihatanku

Wednesday, November 13, 2013

Masih Menjemput Matahari

Bumi cinta penghantar malam berujung
Menguntai sedikit janji untuk bangkit merindu
malam hanyut dan getar si hitam menderu
resonansi seberang lembut walau parau
matahari dingin menggema, menyapa lebih dulu
mungkin sekedar menuntaskan jawaban pesan malam tak terbalaskan itu
untung ada matahari dingin yang mengaum syahdu..

bangkit mengumpul ruh dan jiwa yang telah merantau
ke arah mana tadi ia berkunjung sang jasad pun tak tahu
buliran-buliran membentuk di bejana biru
dan waktu semakin berlalu
pertanda gerak haruslah melaju

membentang permadani indah bak ingin berlabuh
usir para makhluk penggoda iman karena berbuat rusuh
kenapa tak jua mereka menjauh?
ehm tenang saja, memang butuh sedikit gertakan dan waktu..

hening membangkitkan memori rindu
trakhir kali jemari harus menyapa wajah dengan menyapu
hidung bahkan harus mencari tisu..
bak sepertiga-malam di sepuluh hari terakhir malam AgungMu..
menggelegar sejadi-jadinya, mempertanyakan kesucian makhlukMu,
masih pantaskah ia merindu?

menelusuri kemana jiwa harus bertumpu,
Kemana lagi, Jika bukan padaMu tertuju?
rindu akan nikmatnya merindu
terulang lagi layaknya sepuluh malam terakhirMu lalu
sisa-sisa kotoran itu masih menjadi tamu
bercokol di ruh dan jasad yang telah remuk..

manisnya kata mulai merayu merajuk..
merengek bak anak balita hendak dicumbu sang ibu
meraung-raung hingga lagi-lagi wajah malu tersapu
kelam setahun lalu dan bertahun-tahun lalu masih menyiksa dalam semu..
masih layaknya batu.. berkhayal menjadi kapas putih lembut.. 
ringan, beterbangan menerobos langit yang Maha Agung..
karna AsyuraMu pengobat ragu dengan janji yang Engkau Tabur
desah dan isak menyeru, smoga saja Engkau sudi bertemu...

La ilaha illa anta. Subhanaka, inni kuntu minazzhalimin… 
Tidak ada tuhan selain-Mu. Maha Suci Engkau. Sungguh, aku ini sudah berlaku zalim…


#menjemputmatahari #10muharram

Saturday, November 9, 2013

merindu

merindukan hari ini atau melepas rindu akan hari ini? sepertinya jiwa telah menemukan peraduannya..
smoga tak ada benih-benih yang tak sepantasnya untuk disemai.. biarkan ia menyucikan hakikatnya..
menghaturkan doa untuk para pejuang penebar benih benih kebaikan itu..

finally here we are!
“Entah berapa banyak lagi para penebar benih-benih kebaikan yang lagi-lagi akan kutemui hari ini”,gumamku penasaran dalam hati sembari menyapa dinginnya megamendung puncak bogor. Hari ini memang adalah hari yang telah kunanti-nantikan seminggu ini. Entah mengapa aku hanya ingin mencari sosok penebar benih yang mungkin tak begitu mau dikenal oleh dunia karena menjaga kesucian kebaikan yang diberinya itu. Hingga pada akhirnya tepat pukul 14 lewat aku bersama teman sekamar berkunjung di sebuah yayasan ini, yayasan puspita. Lumayan cukup jauh dari kamar kosan tercinta kami.


kemampuan fotografi yang dangkal, ingin memotret semua sudut sebenarnya. tapi apa daya kemampuan fotografer dan kamera tdk begitu mendukung.
Cuaca memang begitu dingin tapi menyapa hangat, bulir bulir air yang jatuh dari langit menyapu muka kami seolah mencium kami dengan rona kebaikan tempat itu. Aku tertegun sejenak, mendongakkan kepala ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang mencoba untuk melebarkan mata seolah-olah meminta jurus untuk melihat semua sudut hutan itu. Mungkin dulu disini hanyalah hutan atau semak belukar kataku. Hanya ada beberapa saung, beberapa bangunan yang saling berpisah, berdiri tegak bak tersusun di atas bukit-bukit yang indah. Bangunannya sederhana, sesederhana bapak yang kutemui dan menyuguhkan teh panas buat kami. Beliau adalah Bapak pendiri yayasan itu.

Perbincangan begitu hangat dengan beliau, bercumbu rayu dengan seorang lelaki kecil berumur 2 tahun lebih yang kami panggil dengan sebutan dek ris. Ini adalah kedua kalinya aku terkejut! Sebelumnya kami meminta tolong pada seorang santri pondok di yayasan itu untuk memberi tumpangan pada kami untuk menyapa sang Ilahi. Mereka mengajak kami ke asramanya. Kami menemukan balita kecil yang begitu sangat mengejutkan kami. Balita yang begitu sibuk bermain dengan dirinya sendiri tergeletak di lantai beralasakan tikar dan diselimuti yang menaatapku keheranan seolah ingin berkata. “ hey kak ada apa denganmu? Aku baik-baik saja”. Aku terkesima dengan balita yang tak pernah sekalipun kudengar suara tangisnya layak balita lainnya. Tentu saja aku heran mengapa ada seorang balita disini? Kataku dalam hati. “siapa balita ini?” kataku pada seorang santri. “Dia de’ ran kak, anak yang jadi tanggung jawab kami semua” kata santri itu. aku semakin bingung. “Orang tuanya tak sanggup mengurusnya hingga menitipkannya ke sini” rasaku mulai membuncah. Dan ini kali kedua terkejut melihat sosok anak lelaki kecil lucu de’ris ternyata berlatar belakang sama dengan de’ ran. “Betapa mulianya bapak ini,” kataku dalam hati. Entah berapa banyak lagi buku Tuhan yang harus kubaca dan kumengerti dengan setiap rentetan peristiwa yang mengalir pada hari ini. Ini adalah skenarioNya buatku dan mungkin juga buat teman-teman yang lain. Sebelum ke tempat itu, sebenarnya aku hanya tahu bahwa disana adalah tempat para penuntut ilmu, dan para relawan yang mau membagi ilmunya dengan anak-anak. Aku hanya tahu itu. Ternyata nilai-nilai kebaikanNya bermekaran sangat sempurna di pada tempat itu.
dek ran.. menjadi anak yang tumbuh kuat layaknya telah dijaga sejak di kandungan

Kini giliran menyapa anak-anak pondok itu, bangunan tak berdinding hanya bak sebuah gazebo yang kecil nan sederhana, kami semua membaur membentuk sebuah lingkaran kecil. Hanya perkenalan kecil tapi tersirat kebahagiaan di pelosok jiwa, betapa sangat merindunya jiwa ini dengan suasana seperti ini. Senyum kecil menyemai di wajah-wajah sang pencari kebaikan. Menatap satu sama lain, tak hanya sekedar menatap wajah mereka yang begitu damai tapi menyelami jiwa para sang pencari kebaikan-kebaikan itu. Tak kenal lagi siapa yang muda dan tua, itu sudah menjadi takdir dan ketetapan Tuhan. Umur seberapapun makhluk itu pasti akan selalu merindukan kebaikan. Terimakasih tak terhingga padaMu atas Nafas yang tak bisa kuhitung ini dan segala kerinduan yang membuncah pada hari ini.


perkenalan singkat 
wajah-wajah polos mereka


Thursday, November 7, 2013

mengartikan sepi

gemiricik air menginspirasi kata sepi
menjadi topik untuk dinikmati oleh malam
mencari kata yang pantas untuk disandingkan kata sepi

baiklah mari mencoba mengartikan kata sederhana
memutar balikkan otak dengan segala dimensi darimana datangnya?
 jika sepi adalah persoalan raga, yakin saja tak ada yang hilang..

tak ada yang begitu berbeda
karena tak terhitung banyaknya cerita
terlalui oleh banyaknya episode bersama bebagai makhluk ciptaan-Nya

jika sepi ialah diam
tentu saja tak akan pernah sepi
matahari, bumi, tak pernah diam

apa harus mencoba menyelami jiwa kembali?
memutar ingatan yang disebut memori
mencari yang hilang
mendapati cermin diri yang terlupakan..
lalu akan kusebut apa episode-episode itu?


boleh jadi sepi adalah persoalan jiwa
menghantar diri pada kerinduan itu
yang tak kunjung terbalaskan
logika kembali berkecamuk.. logika menuntut keadilan!

dan tulisan pun harus diakhiri dengan titik..

Friday, November 1, 2013

Cahaya Matahari vs Cahaya Bulan


Subuh ini seperti biasanya tak pernah lagi ada pagi yang terlewatkan tanpa menjemput matahari. Entah mengapa jadi malu rasanya jika tak menjemput. Semakin lama semakin banyak pula untaian makna yang menyirati jiwa seiring kebersamaanku menjemputnya. Ia begitu dingin, tapi kemudian begitu hangat hingga bahkan menyengat. Tapi ia ‘memberi’ begitu banyak sumber kehidupan kepada makhluk-Nya. Andai saja ia menenggelamkanku dalam lingkar pemberi kehidupan itu. Ahh.. aku hanya bocah kecil yang berkhayal baknya matahari memberi cahaya. “Lalu cahaya apa yang aku punya?” bisikku pesimis

Sembari menjemput pagi mari kita merenung tentang siklus kehidupan yang begitu umum, terlahir sebagai manusia, belajar merangkak hingga berjalan, belajar berbicara, kemudian menempuh pendidikan SD-SMP-SMA, menempuh pendidikan tingkat Perguruan Tinggi , kerja, menikah, punya anak, kemudian, punya cucu dan sebagainya. Lalu apakah hanya sekedar itu? Setidaknya menjemput matahari memberiku sedikit ruang untuk berimajinasi menyilaukan cahaya sedikit demi sedikit. “Emm Aku hanya perlu mengumpulkan cahaya untuk disilaukan” kataku mulai optimis. Tapi tunggu dulu, “apakah ada yang kebetulan dengan nama ‘Cahaya Bulan’ pemberian kedua orang tuaku?”tanyaku dalam hati. Bulan juga tak mempunyai cahaya, sama sepertiku. Ia hanya memantulkan cahaya dari sang matahari yang sering kujemput itu. Aku mulai mengerti.

Mari kembali pada dunia nyata yang harus dijalani. Entah statusnya berupa apa, sudah menjadi kewajiban untuk menjadi seorang pembelajar. Hanya kebetulan saja tersandang label “mahasiswi” pada ragaku. Sebagai mahasiswi asal luar pulau Jawa yang baru pertama kalinya menuntut ilmu di pulau Jawa, aku cukup terkesan dengan gigihnya sang pembelajar menuntut ilmu di tanah ini. Kesenjangan pendidikan memang tak bisa dipungkiri, bahwa mereka di luar sana banyak yang tak mampu menikmati indahnya menuntut ilmu di tanah ini.

Seperti pada tulisan sebelumnya aku hanya melihat ada yang memang begitu berbeda dengan kebijakan tertentu yang telang dirancang sedemikian rupa sehingga pembelajarnya benar-benar jor-jor-an menuntut ilmu di kampus ini. “Be one hundred percent or get zero” begitu kata salah seorang dosen cantik yang sempat memukauku nampak dengan segala kesederhanaannya dibalik keluarbiasaan beliau (sepertinya akan ada tulisan edisi khusus tentang sosok ibu yang satu ini).

Memang benar bahwa kebijakan dan ‘aturan main’ menjadi momok mahasiswa baru. Sistem ‘drop out’ yang sangat ketat. Sehingga membuat mahasiswi mengebu-gebu dengan semangat juang yang tinggi menjulang hingga ke langit untuk belajar mati-matian agar terhindar dari musibah ‘drop out’ itu. Jika kita berjalan-jalan ke kampus akan terlihat bagaimana para mahasiswa dengan giatnya berjalan sambil mengulang materi kuliah, perpustakaan yang tidak pernah sepi hingga malam hari sekalipun (terutama pada musim UTS dan UAS), kelompok belajar bertebaran di setiap sudut kampus dan kosan.

Kembali hanya meluruskan niat ketika ‘ujian’ yang menjadi ‘penentu’ itu tiba. Di tengah tuntutan sistem seperti itu kadang kala sang perusak jiwa yang tak terlihat itu (read: setan) menggodaku untuk berbuat curang pada saat ujian ketika ada sela ‘kesempatan’ untuk berbuat curang. “Apakah kita belajar mati-matian hanya untuk sebuah huruf ‘nilai’ yang tercantum pada academic record?” tanyaku pada salah seorang teman seperjuangan. “Kita kan dituntut seperti itu lal” katanya.

Aku hanya teringat pada rutinitas menjemput pagi dan tentang segala nilai-nilai kehidupan yang kuyakini. Tentang cita-cita kecil nan sederhana untuk memberi cahaya walau sadar tak punya cahaya. Hingga berkhayal lagi jika bahkan aku tak punya cahaya itu, akan kukejar dan kutangkap dia lalu kukurung dia dalam jiwaku. Tapi ternyata aku salah. Cahaya itu sebenarnya sudah dianugerahkan sang Pencipta bersemayam pada diri sendiri. Hanya saja butuh sedikit trik untuk menghadirkan atau menyilaukannya sekalipun. Bukankah kita terlahir sebagai manusia yang luar biasa? Hingga dalam penciptaan pun, Tuhan menyeru pada malaikat dan jin untuk bersujud pada Adam. Akhirnya kusimpulkan saja, ketika diri ini gelap dan kotor mana mungkin bisa menjadi terang? Cahaya itu muncul ketika kita mampu membersihkan segala dimensi yang ada pada diri.


Ketika diberi label oleh dikti sebagai ‘calon dosen’ kembali lagi meluruskan niat. Menjadi dosen hanyalah sebuah label. Pada akhirnya diri kita lah yang menentukan ingin menjadi apa.. bisa jadi kita menjadi sekedar ‘pengajar’ atau menjadi ‘pendidik’. Setelah berkecimpung di dunia pendidikan selama bertahun-tahun tentu saja aku bercita-cita menjadi “pendidik”. Bagaimana mungkin ketika aku bercita-cita menjadi pendidik yang berlabel dosen kemudian tetap saja berbuat curang. "Lalu cahaya apa yang akan kuberi nantinya?"

Thursday, October 24, 2013

Membayangkan Kematian

09.30 am dia tiba-tiba tersadar bahwa ada rutinitas yang biasanya ia lakukan di setap pukul 09.00, “sudah lewat 30 menit” kata perempuan itu terhadap temannya. Bergegaslah ia ke penampungan air, membasuh anggota tubuh hingga diakhiri dengan membasuh kaki.  Menunaikan ritual yang tidak wajib tapi disunnahkan, shalat Dhuha.

“Allahu Akbar” terdengar  suaranya yang samar-samar, seketika saja ia teringat suatu waktu ia menyadari bahwa ada yang aneh dari bagian tubuhnya. Mencoba mencari asal muasal dan penyebab, akhirnya ia tiba-tiba menyeru dalam hati “Bagaimana jika benar aku mengidap penyakit itu?”  Penyakit itu tergolong salah satu penyakit yang mematikan. Seketika perempuan itu tersontak dalam hatinya “bagaimana jika aku pergi meninggalkan dunia ini begitu cepat?” pikiran itu menggerogoti pikirannya ketika ia sedang beritual. Hingga akhirnya ia tersadar ia tidak “khusyu’” menunaikan ritualnya..

“Assalamu alaikum waahmatullah..” terdengar suara setelah kepala nya menyapa bahu kanan dan kirinya. “Astaghfirullaah al adziimm” suaranya kembali terdengar samar namun kali ini terdengar terisak. Pikiran yang tadi masih menggelayut, ia begitu khawatir dengan kematian. “Ya Rabb apakah aku ini termasuk orang yang tidak mencintaimu, karena aku masih takut akan kematian” ia lirih berbisik dengan mukenah ungu pada tubuhnya. Kembali ia mengingat gambaran sosok kedua orang tuanya, yang belum pernah ia banggakan, mengingat tumpukan dosa-dosa yang ia perbuat terhadap orang tua, sesamanya, terutama terhadapNya. Ia perempuan tegar tapi takut akan kematian.

Semakin lama bayangan kematian itu kian mendekat, ia membayangkan ketika ia mati, ia akan meninggalkan apa? Semakin terisak-isak pula suara tangisan yang terdengar. Dengan lirih ia mengadu “Ya Rabb, ampunilah dosaku, ampuni dosa kedua orang tuaku, ampunilah aku ya Rabb.. Ampunilah aku yang belum mampu mencintaiMu layaknya RasulMu mencintaiMu, ya Rabb ampunilah aku yang masih jauh dariMu, ampunilah aku yang masih takut dengan kematian, aku hanya takut Engakau tak sudi bertemu denganku ketika saat itu tiba. Aku hanya hambaMu yang tak berdaya, makhluk hina yang ingin menjumpaiMu, tapi tak punya bekal menemuimu, Ya Rabbbiiiiii ampunilah makhluk hina ini……” suaranya semakin terisak-isak, tersedu-sedu, hingga cairan hidungnya mengganggu pernafasannya.


Seusai solat duha, ia kembali menjumpai  laptop yang ia tinggalkan 30 menit yang lalu yang masih on. Seperti biasanya teman sekamarnya yang juga tiap hari melakukan rutinitas yang sama dengan perempuan itu beranjak menunaikan ritual yang sama. 

Beberapa menit kemudian, tiba sang  teman memutar sebuah lagu sesaat setelah ritualnya selesai. Dan mengatakan kepada perempuan itu, “pernah dengar lagu ini?” Tanya sang teman itu sambil memutar lagu Avenged Sevenfold – So Far Away..  “belum” jawab perempuan itu singkat. “lagu ini tentang sesorang yang ditinggal temannya karena kematian” kata temannya tangkas.  “Lalu? “ perempuan yang kian takut itu bertanya singkat. “Ia mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan temannya setelah ia juga mati”..
Perasaan perempuan itu kian menjadi-jadi, mengapa sesuatu yang ia takutkan tiba-tiba terlontar dari mulut temannya. Dadanya pun kian sesak kembali membayangkan kematiannya.
Lagu avenged sevendfold –so far away kian terngiang-ngiang…

Perempuan itu makin hanyut membayangkan apakah orang yang akan ditinggalkannya nanti akan menyanyikan lagu itu untuknya, ataukah yang tersisa hanyalah kenangan yang mudah dilupakan? Gejolak dalam jiwanya kian menjadi jadi seiring bayangan kematian itu mendekat.

Jika dalam lagu itu temannya mengatakan,  “Sleep tight, I'm not afraid.. Cause as soon as I'm done I'll be on my way, To live eternally”. Mengapa ia sendiri harus takut akan kematian itu?

“Teman bahkan jika di kemudian hari aku pergi meninggalkan kalian maukah kalian mendoakan ku dan merasakan seperti  lagu yang terngiang itu?” gumamnya dalam hati.

Will you stay?
Will you stay away forever?

How do I live without the ones I love?
Time still turns the pages of the book it's burned
Place and time always on my mind
And the light you left remains but it's so hard to stay
When I have so much to say but you're so far away

I love you
You were ready
The pain is strong and urges rise
But I'll see you
When He lets me
Your pain is gone, your hands untied

So far away…

Perempuan itu masih dalam ketakutan, ia takut ia tak pernah dicintai oleh sesamanya ketika ia pergi, ia takut sang pemilik Jiwa tidak mencintai dirinya..



Dia dan perempuan itu..

Beberapa baris "bisa jadi" kaya akan makna. Walau tak tau pada siapa ia tertuju, apakah butuh peka yang lebih dalam atau tak perlu berputar dengan makna yang tak pasti itu hingga akhirnya berpulang pada keegoisan..?

Aku menatap layar komputer, seketika saja teringat ketika merasa bahwa ada kata-kata yang tak pantas telah terucap oleh lidah ini. Benar bahwa salah satu organ tubuh yang berbahaya adalah lidah. Lidah memang lunak dan tak bertulang, tapi ia dapat menusuk dan menyakiti si hati. Entah berapa banyak lagi tumpukan dosa yang kuperbuat. Kubuat beberapa baris di jejaring sosial untuk menjewantahkan betapa sebenarnya diriku merasa bersalah karena lidahku.

Beberapa detik setelah memposting di dunia maya, entah ia tau bahwa pada ia pesan itu tertuju ataukah tidak. Tiba-tiba postingan satu kata muncul dari Akun miliknya, dan setelah itu ada banyak beberapa baris lagi yang tidak bisa kumengerti maknanya. Entah tertuju pada siapa. Aku tak ingin dengan gamblangnya merasa bahwa pesan itu tertuju pada diriku. Yah, hingga akhirnya kuputuskan untuk tak perlu berputar dengan makana yang tak jelas itu dan akhirnya berpulang pada keegoisan.

Aku sendiripun tak mengerti mengapa Aku begitu ingin membatasi jarak hingga kata-kata menusuk itu keluar. Keegoisan pun menuntunku, bahwa mengatakan itu memang lebih baik walaupun pahit. bahwa itu suatu kejujuran yang perlu diapresiasi. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa ruang yang Aku punya tak mampu menampung kebaikannya. Aku benar-benar ingin sendiri.

Sayangnya, Aku hanya terlanjur cinta pada sosok perempuan yang selalu mendampinginya. Aku jatuh cinta pada indah hatinya yang tak mampu lagi kugambarkan oleh kata. Sederhana tapi mulia. Entah berapa banyak orang yang selalu mendoakannya karena kemurahan hatinya. Hingga Aku bahkan berandai-andai kelak akan meniru kemurahannya. Tentu saja Aku paham bahwa di dunia ini, bukan hanya dia yang seperti itu.. tapi ia memang berbeda, ia tak pernah takut akan hilangnya silau dunia. ia tak pernah takut berada dalam gelap karena ia mampu menjadi cahaya…

Perempuan itu adalah ibunya

Wednesday, October 23, 2013

Dua Puluh Tiga


Seketika saja terhenyuk ketika membaca notes dari salah seorang teman serumpun bugis yang berada dalam perantauan. “Tepat dua bulan”, kataku dalam hati.  Masih terbayang 23 agustus 2013 tepat pukul 15 wita aku, ayah, ibu dan adik2 ku mengantarku ke bandara. Entah berapa perjalanan yang telah terlewatkan. Hingga sesesorang menjuluki “besar di jalan” karena ragaku yang tak bias diam pada suatu tempat di daratan muka bumi ini. “BumiNya begitu luas dan begitu indah” kataku. Tak mau mata ini menyia-nyiakan betapa sang Pencipta melukis indahnya semesta. Jika semesta yang Dia lukis saja seindah ini,bagaimana dengan keindahanNya..? Tapi kali ini adalah kali pertama mereka mengiringku hingga ke tempat pesawat-pesawat itu mendarat.  Mungkin karena ini adalah kali pertama aku akan berada dalam perantauan dalam beberapa kali pergantian musim.
Tepat dua bulan berpijak di tanah sunda, mengejar hasrat yang tak terbendung oleh hausnya ilmu. Aku berdiam diri dalam petak kamar 3 kali 5 meter, buku berserakan dimana-mana. Tapi khas dengan suara gemericik air mengalir bak air terjun tumpah dalam akuarium. Ya, tepat dua bulan bersama dinding hijau ini. Sudah dua minggu lebih buku-buku ini bersebaran di lantai dan entah berapa pagi yang terlewatkan lebih pagi dari biasanya. Kota ini memang benar-benar merubah alarm bawah sadarku, mengurangi detik demi detik waktu dimana raga harus kembali peraduannya. “Bukannya orang-orang yang hebat itu tidurnya sedikit?” tanyaku. sepertinya raga ini harus terbiasa dengan semakin cepatnya 24 jam sehari terlalui dari hari ke hari.  Mengapa harus seperti ini? Ini bukan resiko yang harus ditanggung sebagai seorang penuntut ilmu seperti kata orang terhadapku. Ini adalah kebutuhan si penuntut ilmu. Dan sungguh betapapunair laut dijadikan tinta, dan daun-daun di seluruh jagat ini di jadikan kertas nya,masih belum cukup untuk menuliskan ilmuNya.

Ada yang berbeda ketika suatu sistem tertentu dirancang sedemikian rupa sehingga membuat penuntut ilmu di kampus yang selalu di ikonkan dengan kata “pertanian” ,hingga banyak yang kadang mengira bahwa di kampus ini penuh dengan sawah, menjadi lebih agresif. Kelompok diskusi dimana-mana. Jiwanya tak pernah merasa cukup. Bahkan kabarnya, salah seorang teman serumpun Sulawesi hanya rehat sejenak bersujud dan mengisi perut yang kosong. Selebihnya? Sedang asyik berkencan dengan sang buku.. :)