Thursday, October 24, 2013

Membayangkan Kematian

09.30 am dia tiba-tiba tersadar bahwa ada rutinitas yang biasanya ia lakukan di setap pukul 09.00, “sudah lewat 30 menit” kata perempuan itu terhadap temannya. Bergegaslah ia ke penampungan air, membasuh anggota tubuh hingga diakhiri dengan membasuh kaki.  Menunaikan ritual yang tidak wajib tapi disunnahkan, shalat Dhuha.

“Allahu Akbar” terdengar  suaranya yang samar-samar, seketika saja ia teringat suatu waktu ia menyadari bahwa ada yang aneh dari bagian tubuhnya. Mencoba mencari asal muasal dan penyebab, akhirnya ia tiba-tiba menyeru dalam hati “Bagaimana jika benar aku mengidap penyakit itu?”  Penyakit itu tergolong salah satu penyakit yang mematikan. Seketika perempuan itu tersontak dalam hatinya “bagaimana jika aku pergi meninggalkan dunia ini begitu cepat?” pikiran itu menggerogoti pikirannya ketika ia sedang beritual. Hingga akhirnya ia tersadar ia tidak “khusyu’” menunaikan ritualnya..

“Assalamu alaikum waahmatullah..” terdengar suara setelah kepala nya menyapa bahu kanan dan kirinya. “Astaghfirullaah al adziimm” suaranya kembali terdengar samar namun kali ini terdengar terisak. Pikiran yang tadi masih menggelayut, ia begitu khawatir dengan kematian. “Ya Rabb apakah aku ini termasuk orang yang tidak mencintaimu, karena aku masih takut akan kematian” ia lirih berbisik dengan mukenah ungu pada tubuhnya. Kembali ia mengingat gambaran sosok kedua orang tuanya, yang belum pernah ia banggakan, mengingat tumpukan dosa-dosa yang ia perbuat terhadap orang tua, sesamanya, terutama terhadapNya. Ia perempuan tegar tapi takut akan kematian.

Semakin lama bayangan kematian itu kian mendekat, ia membayangkan ketika ia mati, ia akan meninggalkan apa? Semakin terisak-isak pula suara tangisan yang terdengar. Dengan lirih ia mengadu “Ya Rabb, ampunilah dosaku, ampuni dosa kedua orang tuaku, ampunilah aku ya Rabb.. Ampunilah aku yang belum mampu mencintaiMu layaknya RasulMu mencintaiMu, ya Rabb ampunilah aku yang masih jauh dariMu, ampunilah aku yang masih takut dengan kematian, aku hanya takut Engakau tak sudi bertemu denganku ketika saat itu tiba. Aku hanya hambaMu yang tak berdaya, makhluk hina yang ingin menjumpaiMu, tapi tak punya bekal menemuimu, Ya Rabbbiiiiii ampunilah makhluk hina ini……” suaranya semakin terisak-isak, tersedu-sedu, hingga cairan hidungnya mengganggu pernafasannya.


Seusai solat duha, ia kembali menjumpai  laptop yang ia tinggalkan 30 menit yang lalu yang masih on. Seperti biasanya teman sekamarnya yang juga tiap hari melakukan rutinitas yang sama dengan perempuan itu beranjak menunaikan ritual yang sama. 

Beberapa menit kemudian, tiba sang  teman memutar sebuah lagu sesaat setelah ritualnya selesai. Dan mengatakan kepada perempuan itu, “pernah dengar lagu ini?” Tanya sang teman itu sambil memutar lagu Avenged Sevenfold – So Far Away..  “belum” jawab perempuan itu singkat. “lagu ini tentang sesorang yang ditinggal temannya karena kematian” kata temannya tangkas.  “Lalu? “ perempuan yang kian takut itu bertanya singkat. “Ia mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan temannya setelah ia juga mati”..
Perasaan perempuan itu kian menjadi-jadi, mengapa sesuatu yang ia takutkan tiba-tiba terlontar dari mulut temannya. Dadanya pun kian sesak kembali membayangkan kematiannya.
Lagu avenged sevendfold –so far away kian terngiang-ngiang…

Perempuan itu makin hanyut membayangkan apakah orang yang akan ditinggalkannya nanti akan menyanyikan lagu itu untuknya, ataukah yang tersisa hanyalah kenangan yang mudah dilupakan? Gejolak dalam jiwanya kian menjadi jadi seiring bayangan kematian itu mendekat.

Jika dalam lagu itu temannya mengatakan,  “Sleep tight, I'm not afraid.. Cause as soon as I'm done I'll be on my way, To live eternally”. Mengapa ia sendiri harus takut akan kematian itu?

“Teman bahkan jika di kemudian hari aku pergi meninggalkan kalian maukah kalian mendoakan ku dan merasakan seperti  lagu yang terngiang itu?” gumamnya dalam hati.

Will you stay?
Will you stay away forever?

How do I live without the ones I love?
Time still turns the pages of the book it's burned
Place and time always on my mind
And the light you left remains but it's so hard to stay
When I have so much to say but you're so far away

I love you
You were ready
The pain is strong and urges rise
But I'll see you
When He lets me
Your pain is gone, your hands untied

So far away…

Perempuan itu masih dalam ketakutan, ia takut ia tak pernah dicintai oleh sesamanya ketika ia pergi, ia takut sang pemilik Jiwa tidak mencintai dirinya..



Dia dan perempuan itu..

Beberapa baris "bisa jadi" kaya akan makna. Walau tak tau pada siapa ia tertuju, apakah butuh peka yang lebih dalam atau tak perlu berputar dengan makna yang tak pasti itu hingga akhirnya berpulang pada keegoisan..?

Aku menatap layar komputer, seketika saja teringat ketika merasa bahwa ada kata-kata yang tak pantas telah terucap oleh lidah ini. Benar bahwa salah satu organ tubuh yang berbahaya adalah lidah. Lidah memang lunak dan tak bertulang, tapi ia dapat menusuk dan menyakiti si hati. Entah berapa banyak lagi tumpukan dosa yang kuperbuat. Kubuat beberapa baris di jejaring sosial untuk menjewantahkan betapa sebenarnya diriku merasa bersalah karena lidahku.

Beberapa detik setelah memposting di dunia maya, entah ia tau bahwa pada ia pesan itu tertuju ataukah tidak. Tiba-tiba postingan satu kata muncul dari Akun miliknya, dan setelah itu ada banyak beberapa baris lagi yang tidak bisa kumengerti maknanya. Entah tertuju pada siapa. Aku tak ingin dengan gamblangnya merasa bahwa pesan itu tertuju pada diriku. Yah, hingga akhirnya kuputuskan untuk tak perlu berputar dengan makana yang tak jelas itu dan akhirnya berpulang pada keegoisan.

Aku sendiripun tak mengerti mengapa Aku begitu ingin membatasi jarak hingga kata-kata menusuk itu keluar. Keegoisan pun menuntunku, bahwa mengatakan itu memang lebih baik walaupun pahit. bahwa itu suatu kejujuran yang perlu diapresiasi. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa ruang yang Aku punya tak mampu menampung kebaikannya. Aku benar-benar ingin sendiri.

Sayangnya, Aku hanya terlanjur cinta pada sosok perempuan yang selalu mendampinginya. Aku jatuh cinta pada indah hatinya yang tak mampu lagi kugambarkan oleh kata. Sederhana tapi mulia. Entah berapa banyak orang yang selalu mendoakannya karena kemurahan hatinya. Hingga Aku bahkan berandai-andai kelak akan meniru kemurahannya. Tentu saja Aku paham bahwa di dunia ini, bukan hanya dia yang seperti itu.. tapi ia memang berbeda, ia tak pernah takut akan hilangnya silau dunia. ia tak pernah takut berada dalam gelap karena ia mampu menjadi cahaya…

Perempuan itu adalah ibunya

Wednesday, October 23, 2013

Dua Puluh Tiga


Seketika saja terhenyuk ketika membaca notes dari salah seorang teman serumpun bugis yang berada dalam perantauan. “Tepat dua bulan”, kataku dalam hati.  Masih terbayang 23 agustus 2013 tepat pukul 15 wita aku, ayah, ibu dan adik2 ku mengantarku ke bandara. Entah berapa perjalanan yang telah terlewatkan. Hingga sesesorang menjuluki “besar di jalan” karena ragaku yang tak bias diam pada suatu tempat di daratan muka bumi ini. “BumiNya begitu luas dan begitu indah” kataku. Tak mau mata ini menyia-nyiakan betapa sang Pencipta melukis indahnya semesta. Jika semesta yang Dia lukis saja seindah ini,bagaimana dengan keindahanNya..? Tapi kali ini adalah kali pertama mereka mengiringku hingga ke tempat pesawat-pesawat itu mendarat.  Mungkin karena ini adalah kali pertama aku akan berada dalam perantauan dalam beberapa kali pergantian musim.
Tepat dua bulan berpijak di tanah sunda, mengejar hasrat yang tak terbendung oleh hausnya ilmu. Aku berdiam diri dalam petak kamar 3 kali 5 meter, buku berserakan dimana-mana. Tapi khas dengan suara gemericik air mengalir bak air terjun tumpah dalam akuarium. Ya, tepat dua bulan bersama dinding hijau ini. Sudah dua minggu lebih buku-buku ini bersebaran di lantai dan entah berapa pagi yang terlewatkan lebih pagi dari biasanya. Kota ini memang benar-benar merubah alarm bawah sadarku, mengurangi detik demi detik waktu dimana raga harus kembali peraduannya. “Bukannya orang-orang yang hebat itu tidurnya sedikit?” tanyaku. sepertinya raga ini harus terbiasa dengan semakin cepatnya 24 jam sehari terlalui dari hari ke hari.  Mengapa harus seperti ini? Ini bukan resiko yang harus ditanggung sebagai seorang penuntut ilmu seperti kata orang terhadapku. Ini adalah kebutuhan si penuntut ilmu. Dan sungguh betapapunair laut dijadikan tinta, dan daun-daun di seluruh jagat ini di jadikan kertas nya,masih belum cukup untuk menuliskan ilmuNya.

Ada yang berbeda ketika suatu sistem tertentu dirancang sedemikian rupa sehingga membuat penuntut ilmu di kampus yang selalu di ikonkan dengan kata “pertanian” ,hingga banyak yang kadang mengira bahwa di kampus ini penuh dengan sawah, menjadi lebih agresif. Kelompok diskusi dimana-mana. Jiwanya tak pernah merasa cukup. Bahkan kabarnya, salah seorang teman serumpun Sulawesi hanya rehat sejenak bersujud dan mengisi perut yang kosong. Selebihnya? Sedang asyik berkencan dengan sang buku.. :)