Saturday, December 21, 2013

Miniatur Kehidupan Mahasiswi

terjunnya bulir-bulir masih membekas di jiwa, tak kering oleh udara
abadi bersama sepotong cerita yang tak hanya bertayub memerdekakan sejenak pikiran yang meraja, sekali lagi bukan hanya sekedar hiburan!
lukisan perjalanan dadakan memotret liku kehidupan penuh sirat.. 
imaginasi tujuan terkancing pada batas khayal, hingga kemudian menjadi nyata!

Seperti beberapa pagi sebelumnya menjemput matahari adalah suatu ritual yang selalu kunanti-nanti. Memecah sunyi ujung malam menenggelamkan diri dalam nikmat menghamba pada sang Maha Pemilik Raja hingga matahari tak malu lagi menerangkan belahan bumi tanah pijakanku. Menengok layar handphone, mengecek waktu, mengecek beberapa aplikasi pesan, dan beberapa akun IM serta jejaring sosial. Berharap ada pesan yang menghampiri tapi ternyata tidak ada. Aku memutuskan mengirim pesan lalu melanjutkan dengan menunggu sembari melanjutkan serangkaian aktifitas yang selalu menemani pagi, bersih-bersih. Layar handphone akhirnya menunjukkan jam 8, penantian yang semestinya berakhir tak kunjung membawa kabar. Aku menunggu kabar teman-teman sekampus. Seperti sabtu biasanya, aku sengaja meluangkan waktu untuk berkeliling kampus sekedar berolahraga ringan dengan bersepada mengitari jalan di kampus IPB yang begitu rindang. Salah satu cara membuat otak menjadi rileks karena beberapa ujian yang mencekamnya. Hehe.

Beberapa menit kemudian, handphone ku berdering. Suara seberang bertanya “La, kamu dmna? Aku udah di kampus”salah satu teman gendutku yulia menelpon, “masih d kosan yulia, baru mau ganti baju”kataku. Dengan sigap membuka lemari mengambil clana training abu-abu, kaos oblong hitamku, dan kerudung yang siap pakai. Karena berniat untuk berkeringat lebih banyak dari biasanya, aku memutuskan untuk “tidak mandi” lalu berangkat ke shelter sepeda kampus yang kira-kira 500 meter dari kosanku.

Seketika aku tercengang ketika melihat shelter sepeda itu tiba tiba menjadi shelter sofa, tidak ada lagi sepeda yang berjejeran memenuhi hanya ada beberapa kursi sofa yang berjejeran. Aku mulai menunduk lesu setelah berbicara pendek pada petugas shelter. Shelter sepeda diliburkan hingga hari senin tanpa kutahu apa sebabnya entah karena reparasi dan perawatan ataukah karena kedatangan pak SBY kemarin. Aku kemudian berjalan ke Yellow Corner, kantin kampus yang berada sebelah barat dari shelter sepeda GWW, menyapa teman sekampus yang hendak bersepeda denganku. Beberapa hari sebelumnya, kami telah merencanakan untuk beramai-ramai bersepeda sabtu pagi. Bahkan teman sekampus yang bermukim di Baranangsiang (yang letaknya cukup jauh dari Dramaga menghabiskan waktu paling sedikit sejam jika menggunakan bus Transpakuan) dengan antusias menerobos jarak hingga tiba di kampus Dramaga. Hingga akhirnya kami berkumpul, Bersepuluh! Sepuluh mahasiswi siap bersepeda akhirnya hanya berbincang ringan di Yellow Corner berpikir untuk mencari alternatif lain pengganti rencana yang gagal.

Entah dari buah pikiran siapa, akhirnya kami memutuskan untuk bersepeda motor saja walau tak tahu kemana arah tujuan. Perbedaan pendapat menjadi semakin sengit hanya untuk menentukan berapa jam kita merental motor dan kemana kita akan pergi. Jam 9 hingga jam 11 hanya untuk sebuah keputusan merental motor untuk 12 jam dengan tujuan Taman Nasional Halimun Gunung Salak yang entah berantah berada di mana. Kami hanya dapat mengetahui informasi melalui beberapa kawan dan google map dengan sepotong klu, disana terdapat “curug” dan “gunung bunder”. Membayangkan tempat yang baru dalam imajinasi dalam deskripsi kabur tentu saja membuat hati tidak tenang, berpikir keras sembari bertanya-tanya sebenarnya tempat seperti apa yang akan kami datangi itu. Kami bersepuluh memulai perjalanan bersama berangkat dari gerbang IPB, kami bersepuluh merental lima motor menjadi 5 pasang. Tiap meter aspal menjadi tanah asing buat kami, tak pernah terjamah dan terbayangkan sebelumnya. Hingga kami bahkan ragu, apakah arah ini benar ataukah justru kami tidak akan tiba pada tempat yang kami inginkan.

Bersepuluh menelusuri Jalan Raya Dramaga menuju Jalan Raya Ciampea, yang masih terlihat begitu ramai. Hingga terlihat palang menuju “gunung bunder” dan arah itu menjadi pertanda kepada kami bahwa kami harus belok kiri. Memasuki jalan itu kami pun menjadi sangsi, jalan raya yang tak terawat khas jalan di daerah pedesaan mulai kami susuri. Sembari bertanya tanya pada penduduk setempat  di setiap kami menemukan persimpangan jalan. Kami semakin bingung, setiap kami menanyakan tujuan kami. Selalu saja muncul dua pendapat yang berbeda, ada yang mengatakan “salah jalan neng, bukan disini tempatnya” lalu menciutkan nyali kami. Ada yang bilang “lurus aja neng satu jam lagi”. Kami akhirnya memtuskan untuk terus hingga akhirnya beristirahat dan makan siang di pertigaan jalan tempat kami mulai linglung lagi untu melanjutkan perjalanan. Setelah sebelumnya kami menunaikan kewajiban menghamba pada sang Pencipta. Tiba di warung makan kami akhirnya tersadar bahwa sebagian besar dari kami tidak membawa uang yang cukup. Hanya membawa beberapa ATM yang jelas tak kami temukan mesinnya disana. Untuk makan saja pas-pasan.  Makan seadanya, dan beberapa harus ngutang ke teman yang lain, termasuk Aku.

Ibu di warung itu menjamu dengan baik, memberikan beberapa informasi yang cukup membantu, “kalau Taman Halimun Ibu nggak tau Neng, kalo Gunung Salah Endah Ibu tau, disana banyak curug juga, lokasinya sekitar 20 menit lagi dari sini” sembari menunjuk arah jalan ke kiri dan menyiapkan makan siang kami. “kalau ke sana dapat gerbang, langsung bayar neng, nah di dalem kalau ke tiap curug bayar lagi” kami langsung terkezut!! (terkezut adalah level yang lebih tinggi daripada terkejut)! Kami tidak mempunyai uang lagi, dan kami tidak tahu menahu bahwa tempat itu berbayar! Dan itu salah kami yang tidak mencari informasi lengkap sebelum berangkat.

Dengan beberapa titipan ibu itu yang mengatakan “Neng bisa bahasa Sunda? Kalo kesana bilang aja kami sodaranya pak Ukar dari Segok, Pak Ukar itu orang yang suka ada proyek disitu, biasanya kalau kesana Ibu biasa kayak gitu dan langsung dilolosin di gerbang” kami akhirnya melanjutkan perjalanan dan menunjuk teman kami si Pipit yang satu-satunya orang Sunda mewakili kami sebagai juru bicara untuk bernego dengan bahasa Sunda di gerbang itu (bernego itu dimaksudkan agar kami boleh masuk tanpa bayar haha).

Perjalanan kami lanjutkan setelah sejam di jalan, dan berharap 20 menit kemudian kami tiba di gerbang dengan rasa was-was karena tidak membawa uang. Ingin pulang kembalipun rasanya sayang. Di tengah perjalanan kami menemukan Indomaret yang dapat bertransaksi Debit Mandiri (bahkan aku sebenarnya heran di desa kecil masih ada indomaret). Kami pun singgah dengan harapan bisa memperoleh sedikit uang dari ATM Mandiri kami (ATM Beasiswa). “Mandirinya lagi Offline neng, yang bisa hanya BCA” kata petugas indomaret itu. Tiba-tiba aku berpikir sesuatu dan memutuskan untuk menghilangkan malu sementara bertanya demi bertahan hidup. “Aa punya BCA? Boleh kami transfer aja ke rekeningnya pake sms Banking, nanti debitnya pake rekening Aa saja.. “ , si petugas itu menyetujui! dan jreng-jreng jreng…tiga ratus ribu sudah tangan. Semoga cukup untuk membiayai beberapa kehidupan selanjutnya. Kami pun melanjutkan perjalan dengan beberapa tanjakan yang berkelok kelok, menikmati hutan rimba di samping kanan-kiri. Hingga mata kami melihat takjub gerbang kokoh bertuliskan “Selamat datang di Taman Nasional Halimun Gunung Salak”.

Kami menyempatkan diri berpose di gerbang itu, sebelum si juru bicara Pipit memulai aksinya untuk meloloskan kami. Pipit akhirnya menuju gerbang pembayaran dengan si Wina yang memboncengnya dan motor-motor kami mengikuti agak pelan dan agak lambat dari belakang. Dengan sambil menatap curiga satu sama lain, kami menebak-nebak apa yang terjadi pada pembicaraan Pipit dengan petugas gerbang pembayaran itu, aku dan Mia bahkan mengeluarkan kata tanpa suara menanyakan “berhasil ga?” lalu kami melihat “Wina mengambil uang dan membayar semuanya” jreng jreng “tidak berhasil” pikirku. Kami kemudian melanjutkan perjalanan melewati gerbang itu sembari menunggu cerita Pipit. Tanpa ditanya Pipit pun langsung bercerita, “Tadi tuh Pipit salah ngomong, salah nama, pipit bilang nya pak Akur, lupa kalau namanya pak Ukar, sampe panjang nanya-nanya nya si bapak itu,  tapi kita di kasi diskon kok, semestinya bayar 50 ribu jadi 20 ribu aja” cerita Pipit dengan khas muka innocentnya. Tentu saja dengan spontan kami semua tertawa terbahak-bahak. Dan ini adalah bagian terseru, terlucu, dan terkonyol pada cerita ini. Beberapa dari kami menyimpulkan “iya Pipit mah ga bisa boong anaknya” haha.

Perjalanan kami lanjutkan menuju curug (curug istilah untuk air terjun di sana), bermodalkan peta kecil yang diberikan oleh pertugas kami memilih untuk ke lokasi Curug Cigamea. Berpose di tiap kawasan, mendapati pohon pinus dan membayangkan bahwa itu adalah tempat Edward Cullen dan Bella, lalu menyusuri jalan bebatuan walau tak terbayangkan dimana curug Cigamea itu sebenarnya. Hingga akhirnya tiba juga di gerbang curug cigamea, dan kami harus menerima kenyataan bahwa dari tempat parikir Curug itu, kami harus menuruni anak tangga sekitar 400 meter dan akan membayang betapa capeknya ketika pulang dengan menaiki tangga. Sepertinya pribahasa bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian menjadi terbalik untuk kasus kami. Setibanya di Curug ya tentu saja kami menikmati dengan berpose, berpose, berpose, berpose, dan hanya terus berpose! Haha (begitulah kegilaan anak muda jaman sekarang).

Hari semakin sore, para sepuluh anggota geng motor mulai pulang dengan motornya masing-masing. Mengitari jalan yang berbeda menuju jalan pulang setidak nya walaupun jalannya berbeda, tapi kali ini tujuan pulang sudah jelas, tidak seperti waktu kami menuju ke tempat itu. Menyusuri sawah-sawah para petani, hingga menemukan titik terang di pertigaan jalan tanda kita menemukan jalan raya poros menuju pulang. Mungkin ini hanyalah sebuah perjalanan, mungkin pula ini hanya sebuah hiburan, itu mungkin saja. Tapi mungkin juga ini adalah sebuah pesan.

Maaf bukan sebuah pesan, tapi beribu pesan. Pesan yang menyirat tidak tampak oleh mata tapi mampu diindrai oleh jiwa. Baju kita memang nampak basah oleh buliran air dari Curug itu, hingga kering seiring perjalanan kita pulang akan tetapi bekas buliran yang menyentuh jiwa tidak mampu kering oleh udara. Ia melukis beberapa potret liku kehidupan kita secara tersirat. Perjalanan ke Halimun baknya miniatur perjalanan hidup kita. Entah dari berapa dimensi yang kita punya. Sebagai Hamba Tuhan, mahasiswi, anak, teman, kerabat, dan sebagainya. Oke, mari kita membahas satu dimensi saja agar tidak panjang, mahasiswi.

Perjalanan ke Halimun yang sebelumnya hanya ada di ruang imajinasi hingga akhirnya bisa kita rasakan di ruang nyata. Seperti itu pula dengan harapan kita kedepan, sepuluh mahasiswi yang akan berimajinasi menjadi lulusan Statistika IPB, sehingga kami mampu mentransformasi ruang imajianasi dan merasakannya hingga ke ruang nyata.  Mungkin juga jalannya berliku seperti ke Halimun, tak punya uang di jalan, berbeda pendapat dengan teman, linglung seperti anak hilang, ditengah jalan ada yang menciutkan nyali karena kita salah jalan, ada yang membantu meminjamkan debitnya, dan beribu potret liku yang mengombang ambing perasaan kita.

Begitu pula dengan kehidupan nyata kita sebagai mahasiswi  yang  kadang masih meragukan diri akan ujian yang mungkin menjadi beban, sejatinya bukan beban tetapi kebutuhan kita menuju tujuan yang masih dalam imajinasi. Kadang kala berbeda pendapat dengan teman sendiri bahkan ketika kita dan sang teman  sekalipun mempunyai tujuan yang sama mencari kebenaran, kadang kala ada juga yang akan menciutkan nyali kita dengan mengatakan kita begini dan begitu padahal itu hanyalah bahasa komunikasi yang belum nyambung sehingga memberi tafsiran seperti itu, atau kadang kala juga ada yang membantu kita melewati hal-hal tersulit sekalipun di tengah beratnya medan tempur perkuliahan J

Satu hal yang coba kujewantahkan maknanya mengenai peristiwa pak Akur dan pak Ukar, tapi tak kunjung kutemukan mungkin di lain kesempatan ya..  atau mungkin diantara teman-teman ada yang mau mengupas edisi khusus Pak Akur dan Pak Ukar yang tertukar. Hehehe.

sepotong cerita menghantar pada tempat di mata sampai di hati
Jalan penuh gurauan ala ala zainuddin dan hayati
mendesau dan melucu baknya kereta tak henti
kita mewarnai tawa mengidap lupa waktu karena mencari
semoga bukan hanya sekedar hiburan, tapi jalan refleksi
ia hanya meniatur kehidupan mahasiswi.

beberapa dokumentasi, masih tanpa editan! 
sepotong cerita hingga pada sebuah gerbang, berpose sebelum Pipit melancarkan aksinya.

beberapa ada yang berkhayal bahwa ini adalah tempat adegan Edward Cullen dan Bella Swan

di dalam taman Halimun salak, ada banyak curug. Curug Ciamea salah satunya,


tidak seperti kata pribahasa, bersenang-senang dahulu bersakit-sakit kemudian ketika pulang harus menaiki tangga dari curug




here we are! air air airr terjun...

jadinya kenapa kayak power ranger ya? *perjalanan pulang