Friday, April 17, 2015

Menuju kota hujan

Beberapa hari belakangan ini, rasa-rasanya saya hampir tak menyempatkan waktu berdialog dengan diri sendiri, ketika beberapa aktifitas satu menuju aktifitas lainnya saling tumpang tindih, dan saya terlena di euforia itu. Tugas yang satu belum selesai dan sayapun harus segara menyelasaikan tugas baru. Kuterima sebagai konsekuensi atas pilihan dan ingin kujalani seikhlas-ikhlasnya pengabdian.

Malam ini sembari memperhatikan wajah-wajah di sekitar saya, saya yang sudah terlalu larut menyusuri jalan pulang ke Bogor, saya yang sudah terlalu lelah karena semalam begadang namun harus tetap menjemput matahari, mengejar waktu ke ibu kota dan mengelilingi ibu kota hari ini sungguh sangat melelahkan. Kucoba memejam, sebagai ancang-ancang mencuri-curi istirahat. Hitung-hitung sebagai tambahan tenaga ekstra untuk tiga hari ke depan. Tiba-tiba telepon berdering.

Seketika mata yang tadinya 5 watt, tiba-tiba melek semelek meleknya karena satu kalimat,  "ila, mappettu ada ka bulan depan". Haru, bahagia, dan lelahpun tak ada yang mampu bertahan. Lalu akhirnya percakapan antara kami sangat antusias. "Mappettu ada" sendiri adalah salah satu rangkain proses lamaran yang dilakukan hampir seluruh keluarga perempuan bugis ketika menerima pinangan.

Sahabat terbaikku, beruntung dan bersyukurlah, Ia menitipkan keyakinan itu padamu.
Barakallah sahabat terbaikku, semoga menghantarkanmu dan calon suamimu kepada Pemilik Cinta..

Aamiin..yaa rabbal a'lamiinn...

*menikmati cahaya malam dari jendela kereta listrik menuju kota hujan*

Wednesday, April 8, 2015

Menjemput dan atau menunggu

Malam ini ijinkan aku mengutip satu dua baitmu
aku terpukau pada 'nyanyian sunyi seorang bisu'mu
hanya untuk penggalan pertama 'permenungan dan pengapungan'mu

"surat ini takkan mungkin bisa dikirimkan,
takkan mungkin sampai di tanganmu,
liat dia tetap kutulis untukmu"

gejolak bisumu pelan-pelan nyata merasukiku
menyatu dengan nafasku
lalu mengapa kau sebut ia 'nyanyian bisu'?
karna sejujurnya tak pernah ku bersungguh-sungguh ingin membisu
namun memang dayaku yang hanya mampu membisu
menyeretku terperangkap pada "permenungan" yang berliku
permenungan yang pernah tersebut menjemput dan atau menunggu

tak perlu kubercerita seberapa sering aku menjemput
pun tentang apa yang kujemput, yang kunamai matahari itu
menjemput matahari adalah canduku tak pernah kurisaukan sekalipun

memang bukan menjemput matahari yang menjadi 'permenungan'
ah sekiranya 'permenungan'ku ini tentang harapan
lalu mengapa menjemput harapan ini semakin merisaukan?

menjemput dan atau menunggu?
walau terdengar tak lazim tetap kutulis "dan atau"
ia hanya ruang semesta yang aku bangun pada 'permenungan'ku
menjemput dan menunggu, menjemput atau menunggu?

entah kutukan atau kepasrahan walau telah biasa aku menjemput
kali ini, aku tanya punya daya tarung
meski mungkin tak berujung, aku menunggu...

biar kurasai yang kutunggu masih semu, menjemput matahari akan tetap menjadi candu! Menjemput matahari, Menjemput-Nya, yang kan menuntunku pada rupa ujung penungguanku

*sambil mendengar "nyanyian sunyi seorang bisu" oleh mas pram

Monday, April 6, 2015

Es Kelapa Muda Tanpa Gula

Kisahnya kurang lebih sama ketika sebulan  saya menetap di Pare,Kediri,Jawa Timur. Hampir setiap hari saya membeli jus jambu biji pada ibu-ibu yang menjajakan buah dalam bentuk jus. Sebenarnya jus jambu merah adalah satu-satunya pilihan yang menurut pendapat saya resikonya paling rendah untuk dikonsumsi tubuh saya. Resiko dimaksudkan disini tak lain adalah asam lambung yang seringkali tidak stabil dan mengakibatkan efek domino terhadap aktifitas dalam tubuh maupun luar tubuh. Merupakan hal yang wajar ketika setelah beberapa waktu membeli sang Ibu yang menjajakan bahkan sering mendahului, "Jus jambu ya mba?" dan seketika muka saya berubah menjadi jus jambu di alam bawah sadarnya. Dan semenjak itu ia selalu bertanya hal-hal di luar jus jambu kepada saya. Contoh "Mba asli mana? Kapan pulang ke Makassar mba? Mba baru kelar kelasnya? Mba kenapa baru nongol?"dst.

Hal yang sama dengan beberapa minggu ini, setiap menyusuri lorong ke kosan, saya sering membeli es kelapa muda tanpa gula. Setelah beberapa kali membeli. Sepertinya alam bawah sadar mas-mas di warung itu sudah mengkodekan muka saya dengan es kelapa muda tanpa gula. Lalu akhirnya tadi mas-mas nya sepertinya mulai kepo. Dia menanyakan "Kenapa ga pakai gula mba?" lalu saya jawab dengan cool "Iya mas, kebetulan sy sudah manis jd ga butuh gula" lalu semua mata memandang saya, mungkin sekedar mengecek kebenarannya.Akhirnya saya putuskan untuk memberi alasan yang kira-kira bisa ia terima. "Lebih alami, mas.. " saya menimpali. Kemudian disodorkan lah pada saya batok kelapa, "Kalau gitu yang ini aja mba ini lebih alami" Lalu lambat laun si mas-masnya malah mulai  bertanya, "Mba asli mana?"dst.

Saya ingin mencoba untuk menelaah kejadian-kejadian tersebut. Walau terkadang kelihatan "kurang kerjaan". Pertama, bahwa hal yang sama ketika dilakukan secara berulang-ulang lambat laun akan menstimulus alam bawah sadar sehingga tanpa perlu berpikir lagi, spontanitas akan kegiatan tersebut mulai terbentuk. Sehingga memang untuk bertransformasi mengaplikasikan dan menebar benih-benih kebaikan dalam diri harus sesegera mungkin dilakukan lalu dibiasakan. Walau mungkin dengan sedikit "pemaksaan" dalam diri. Kedua, bahwa perkenalan itu ialah sebuah proses. Interaksi yang sering mungkin memudahkan kita untuk mengenal. Ketiga, bahwa bisajadi kita tidak hanya sampai kepada level mengenal, namun memahami.

-sambil seruput es kelapa muda tanpa gula-

Wednesday, April 1, 2015

Statistisi, Statistikawan, Statistikus

Beberapa hari yang lalu sebenarnya saya berniat hendak membuat tulisan mengenai seminar yang sebenarnya ditujukan sebagai penghargaan kepada Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion, beliau lebih dikenal oleh teman sejawat serta murid-murid atau mahasiswanya dengan sapaan sederhana pak Andi. Saya bahkan pertama kali mendengar nama beliau ketika pertama berkunjung melewati gedung rektorat IPB, namanyalah yang disematkan di gedung beberapa lantai itu. Siapa pak Andi Hakim Nasoetion pun sebenarnya saya tak mengenal betul seperti mahasiswa-mahasisiwi pak Andi yang pernah dan sering berinteraksi secara langsung dengan beliau, saya hanya mencoba mendengarkan kisah tentang beliau pun membaca sedikit tulisan mengenai beliau, bukunya bahkan belum sempat kulahap, saking langkanya..

Yang saya ketahui ketika melakukan penelusuran di google, beliau adalah Bapak Statistika Indonesia, beliau tak pernah lepas dari peranan statistika di IPB saat ini, menurut beberapa sumber menyebutkan bahwa Statistika IPB merupakan yang tertua di Indonesia, namun ada beberapa pula yang membantah bahwa sebenarnya pertama kali Unpadlah yang menjadi pencetus di Indonesia.

Kembali membahas mengenai pak Andi kaitannya dengan statistika. Pada salah satu tulisan orasi ilmiah guru besar statistika oleh Prof.Asep Saefuddin yang berjudul "Statistika : dulu, kini,dan masa depan" menggambarkan mengenai pemikiran pak Andi menyangkut pentingnya statistika sebagai alat bantu dalam penarikan kesimpulan. Beliau mengilustrasikan bahwa manusia ialah orang-orang buta yang ingin mengetahui bentuk gajah. Ada yang menyimpulkan bahwa gajah berbentuk cameti, karena orang buta tersebut memegang ekor gajah. Orang buta lain kebetulan meraba perut gajah, maka disimpulkannya gajah itu berbentuk tabuh. Ada juga yang menyimpulkan gakah seperti pedang dan lain-lainnya. Manusia melek pun sebenarnya buta untuk hal-hal yang belum diketahuinya.

Sehingga Alm. Pak Andi menegaskan bahwa manusia membutuhkan tongkat dan Statistika adalah tongkat yang beliau sodorkan yang dijelaskan dalam orasi beliau kurang lebih 42 tahun yang lalu "Statistika sebagai tongkat di daerah ketidaktahuan". Pemikiran beliau mengenai hal tersebut pun dewasa ini masih sangat relevan dengan kompleksitas akan ketidakpastian. Analisis wilayah ketidakpastian malah semakin merambat di bidang ilmu sosial, asuransi, ramalan cuaca, kesehatan, bisnis, manajemen,politik, pertanian, energi, pangan, bahkan dalam ruang lingkup biomolekular sekalipun.

Memang pada hakikatnya statistika adalah alat, sehingga menggunakannya pun harus tepat. Mengutip sambutan oleh dekan fmipa IPB, statistika jika diandaikan sebuah pisau, ia dapat digunakan untuk mengupas dan memotong buah, pun juga dapat digunakan untuk "membunuh" maka hal-hal yang patutnya menjadi perhatian oleh orang-orang yang menekuni dan menggunakan statistika ialah menggunakannya dengan tepat dan tentu dengan kejujuran para statistisi.

Berhubungan dengan kata statistisi, hanyalah sebuah istilah bagi yang menekuni bidang ilmu tersebut, walau kadang pula beberapa orang menyebut statistikawan, ataupun statistikus.