terjunnya
bulir-bulir masih membekas di jiwa, tak kering oleh udara
abadi
bersama sepotong cerita yang tak hanya bertayub memerdekakan sejenak pikiran
yang meraja, sekali lagi bukan hanya sekedar hiburan!
lukisan perjalanan dadakan memotret liku kehidupan penuh sirat..
imaginasi tujuan terkancing pada batas khayal, hingga kemudian menjadi nyata!
lukisan perjalanan dadakan memotret liku kehidupan penuh sirat..
imaginasi tujuan terkancing pada batas khayal, hingga kemudian menjadi nyata!
Seperti beberapa pagi sebelumnya menjemput
matahari adalah suatu ritual yang selalu kunanti-nanti. Memecah sunyi ujung
malam menenggelamkan diri dalam nikmat menghamba pada sang Maha Pemilik Raja
hingga matahari tak malu lagi menerangkan belahan bumi tanah pijakanku. Menengok
layar handphone, mengecek waktu, mengecek beberapa aplikasi pesan, dan beberapa
akun IM serta jejaring sosial. Berharap ada pesan yang menghampiri tapi ternyata
tidak ada. Aku memutuskan mengirim pesan lalu melanjutkan dengan menunggu
sembari melanjutkan serangkaian aktifitas yang selalu menemani pagi,
bersih-bersih. Layar handphone akhirnya menunjukkan jam 8, penantian yang semestinya
berakhir tak kunjung membawa kabar. Aku menunggu kabar teman-teman sekampus. Seperti
sabtu biasanya, aku sengaja meluangkan waktu untuk berkeliling kampus sekedar
berolahraga ringan dengan bersepada mengitari jalan di kampus IPB yang begitu
rindang. Salah satu cara membuat otak menjadi rileks karena beberapa ujian yang
mencekamnya. Hehe.
Beberapa menit kemudian, handphone ku berdering.
Suara seberang bertanya “La, kamu dmna? Aku udah di kampus”salah satu teman
gendutku yulia menelpon, “masih d kosan yulia, baru mau ganti baju”kataku. Dengan
sigap membuka lemari mengambil clana training abu-abu, kaos oblong hitamku, dan
kerudung yang siap pakai. Karena berniat untuk berkeringat lebih banyak dari
biasanya, aku memutuskan untuk “tidak mandi” lalu berangkat ke shelter sepeda kampus
yang kira-kira 500 meter dari kosanku.
Seketika aku tercengang ketika melihat
shelter sepeda itu tiba tiba menjadi shelter sofa, tidak ada lagi sepeda yang
berjejeran memenuhi hanya ada beberapa kursi sofa yang berjejeran. Aku mulai
menunduk lesu setelah berbicara pendek pada petugas shelter. Shelter sepeda
diliburkan hingga hari senin tanpa kutahu apa sebabnya entah karena reparasi
dan perawatan ataukah karena kedatangan pak SBY kemarin. Aku kemudian berjalan
ke Yellow Corner, kantin kampus yang berada sebelah barat dari shelter sepeda
GWW, menyapa teman sekampus yang hendak bersepeda denganku. Beberapa hari sebelumnya,
kami telah merencanakan untuk beramai-ramai bersepeda sabtu pagi. Bahkan teman
sekampus yang bermukim di Baranangsiang (yang letaknya cukup jauh dari Dramaga
menghabiskan waktu paling sedikit sejam jika menggunakan bus Transpakuan) dengan
antusias menerobos jarak hingga tiba di kampus Dramaga. Hingga akhirnya kami
berkumpul, Bersepuluh! Sepuluh mahasiswi siap bersepeda akhirnya hanya
berbincang ringan di Yellow Corner berpikir untuk mencari alternatif lain
pengganti rencana yang gagal.
Entah dari buah pikiran siapa, akhirnya
kami memutuskan untuk bersepeda motor saja walau tak tahu kemana arah tujuan. Perbedaan
pendapat menjadi semakin sengit hanya untuk menentukan berapa jam kita merental
motor dan kemana kita akan pergi. Jam 9 hingga jam 11 hanya untuk sebuah
keputusan merental motor untuk 12 jam dengan tujuan Taman Nasional Halimun Gunung
Salak yang entah berantah berada di mana. Kami hanya dapat mengetahui informasi
melalui beberapa kawan dan google map dengan sepotong klu, disana terdapat “curug”
dan “gunung bunder”. Membayangkan tempat yang baru dalam imajinasi dalam
deskripsi kabur tentu saja membuat hati tidak tenang, berpikir keras sembari
bertanya-tanya sebenarnya tempat seperti apa yang akan kami datangi itu. Kami
bersepuluh memulai perjalanan bersama berangkat dari gerbang IPB, kami bersepuluh
merental lima motor menjadi 5 pasang. Tiap meter aspal menjadi tanah asing buat
kami, tak pernah terjamah dan terbayangkan sebelumnya. Hingga kami bahkan ragu,
apakah arah ini benar ataukah justru kami tidak akan tiba pada tempat yang kami
inginkan.
Bersepuluh menelusuri Jalan Raya Dramaga
menuju Jalan Raya Ciampea, yang masih terlihat begitu ramai. Hingga terlihat palang
menuju “gunung bunder” dan arah itu menjadi pertanda kepada kami bahwa kami harus
belok kiri. Memasuki jalan itu kami pun menjadi sangsi, jalan raya yang tak terawat
khas jalan di daerah pedesaan mulai kami susuri. Sembari bertanya tanya pada
penduduk setempat di setiap kami
menemukan persimpangan jalan. Kami semakin bingung, setiap kami menanyakan
tujuan kami. Selalu saja muncul dua pendapat yang berbeda, ada yang mengatakan “salah
jalan neng, bukan disini tempatnya” lalu menciutkan nyali kami. Ada yang bilang
“lurus aja neng satu jam lagi”. Kami akhirnya memtuskan untuk terus hingga
akhirnya beristirahat dan makan siang di pertigaan jalan tempat kami mulai linglung
lagi untu melanjutkan perjalanan. Setelah sebelumnya kami menunaikan kewajiban
menghamba pada sang Pencipta. Tiba di warung makan kami akhirnya tersadar bahwa
sebagian besar dari kami tidak membawa uang yang cukup. Hanya membawa beberapa
ATM yang jelas tak kami temukan mesinnya disana. Untuk makan saja pas-pasan. Makan seadanya, dan beberapa harus ngutang ke
teman yang lain, termasuk Aku.
Ibu di warung itu menjamu dengan baik,
memberikan beberapa informasi yang cukup membantu, “kalau Taman Halimun Ibu
nggak tau Neng, kalo Gunung Salah Endah Ibu tau, disana banyak curug juga,
lokasinya sekitar 20 menit lagi dari sini” sembari menunjuk arah jalan ke kiri
dan menyiapkan makan siang kami. “kalau ke sana dapat gerbang, langsung bayar
neng, nah di dalem kalau ke tiap curug bayar lagi” kami langsung terkezut!!
(terkezut adalah level yang lebih tinggi daripada terkejut)! Kami tidak mempunyai
uang lagi, dan kami tidak tahu menahu bahwa tempat itu berbayar! Dan itu salah
kami yang tidak mencari informasi lengkap sebelum berangkat.
Dengan beberapa titipan ibu itu yang
mengatakan “Neng bisa bahasa Sunda? Kalo kesana bilang aja kami sodaranya pak Ukar
dari Segok, Pak Ukar itu orang yang suka ada proyek disitu, biasanya kalau
kesana Ibu biasa kayak gitu dan langsung dilolosin di gerbang” kami akhirnya
melanjutkan perjalanan dan menunjuk teman kami si Pipit yang satu-satunya orang
Sunda mewakili kami sebagai juru bicara untuk bernego dengan bahasa Sunda di
gerbang itu (bernego itu dimaksudkan agar kami boleh masuk tanpa bayar haha).
Perjalanan kami lanjutkan setelah sejam
di jalan, dan berharap 20 menit kemudian kami tiba di gerbang dengan rasa
was-was karena tidak membawa uang. Ingin pulang kembalipun rasanya sayang. Di tengah
perjalanan kami menemukan Indomaret yang dapat bertransaksi Debit Mandiri (bahkan
aku sebenarnya heran di desa kecil masih ada indomaret). Kami pun singgah
dengan harapan bisa memperoleh sedikit uang dari ATM Mandiri kami (ATM
Beasiswa). “Mandirinya lagi Offline neng, yang bisa hanya BCA” kata petugas
indomaret itu. Tiba-tiba aku berpikir sesuatu dan memutuskan untuk menghilangkan
malu sementara bertanya demi bertahan hidup. “Aa punya BCA? Boleh kami transfer
aja ke rekeningnya pake sms Banking, nanti debitnya pake rekening Aa saja.. “ ,
si petugas itu menyetujui! dan jreng-jreng jreng…tiga ratus ribu sudah tangan. Semoga
cukup untuk membiayai beberapa kehidupan selanjutnya. Kami pun melanjutkan
perjalan dengan beberapa tanjakan yang berkelok kelok, menikmati hutan rimba di
samping kanan-kiri. Hingga mata kami melihat takjub gerbang kokoh bertuliskan “Selamat
datang di Taman Nasional Halimun Gunung Salak”.
Kami menyempatkan diri berpose di
gerbang itu, sebelum si juru bicara Pipit memulai aksinya untuk meloloskan
kami. Pipit akhirnya menuju gerbang pembayaran dengan si Wina yang
memboncengnya dan motor-motor kami mengikuti agak pelan dan agak lambat dari
belakang. Dengan sambil menatap curiga satu sama lain, kami menebak-nebak apa
yang terjadi pada pembicaraan Pipit dengan petugas gerbang pembayaran itu, aku
dan Mia bahkan mengeluarkan kata tanpa suara menanyakan “berhasil ga?” lalu
kami melihat “Wina mengambil uang dan membayar semuanya” jreng jreng “tidak
berhasil” pikirku. Kami kemudian melanjutkan perjalanan melewati gerbang itu
sembari menunggu cerita Pipit. Tanpa ditanya Pipit pun langsung bercerita, “Tadi
tuh Pipit salah ngomong, salah nama, pipit bilang nya pak Akur, lupa kalau
namanya pak Ukar, sampe panjang nanya-nanya nya si bapak itu, tapi kita di kasi diskon kok, semestinya bayar
50 ribu jadi 20 ribu aja” cerita Pipit dengan khas muka innocentnya. Tentu saja
dengan spontan kami semua tertawa terbahak-bahak. Dan ini adalah bagian
terseru, terlucu, dan terkonyol pada cerita ini. Beberapa dari kami
menyimpulkan “iya Pipit mah ga bisa boong anaknya” haha.
Perjalanan kami lanjutkan menuju curug
(curug istilah untuk air terjun di sana), bermodalkan peta kecil yang diberikan
oleh pertugas kami memilih untuk ke lokasi Curug Cigamea. Berpose di tiap kawasan,
mendapati pohon pinus dan membayangkan bahwa itu adalah tempat Edward Cullen
dan Bella, lalu menyusuri jalan bebatuan walau tak terbayangkan dimana curug
Cigamea itu sebenarnya. Hingga akhirnya tiba juga di gerbang curug cigamea, dan
kami harus menerima kenyataan bahwa dari tempat parikir Curug itu, kami harus
menuruni anak tangga sekitar 400 meter dan akan membayang betapa capeknya
ketika pulang dengan menaiki tangga. Sepertinya pribahasa bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian menjadi terbalik untuk kasus kami. Setibanya di Curug
ya tentu saja kami menikmati dengan berpose, berpose, berpose, berpose, dan
hanya terus berpose! Haha (begitulah kegilaan anak muda jaman sekarang).
Hari semakin sore, para sepuluh anggota geng
motor mulai pulang dengan motornya masing-masing. Mengitari jalan yang berbeda
menuju jalan pulang setidak nya walaupun jalannya berbeda, tapi kali ini tujuan
pulang sudah jelas, tidak seperti waktu kami menuju ke tempat itu. Menyusuri
sawah-sawah para petani, hingga menemukan titik terang di pertigaan jalan tanda
kita menemukan jalan raya poros menuju pulang. Mungkin ini hanyalah sebuah
perjalanan, mungkin pula ini hanya sebuah hiburan, itu mungkin saja. Tapi mungkin
juga ini adalah sebuah pesan.
Maaf bukan sebuah pesan, tapi beribu
pesan. Pesan yang menyirat tidak tampak oleh mata tapi mampu diindrai oleh
jiwa. Baju kita memang nampak basah oleh buliran air dari Curug itu, hingga
kering seiring perjalanan kita pulang akan tetapi bekas buliran yang menyentuh
jiwa tidak mampu kering oleh udara. Ia melukis beberapa potret liku kehidupan
kita secara tersirat. Perjalanan ke Halimun baknya miniatur perjalanan hidup
kita. Entah dari berapa dimensi yang kita punya. Sebagai Hamba Tuhan, mahasiswi,
anak, teman, kerabat, dan sebagainya. Oke, mari kita membahas satu dimensi saja
agar tidak panjang, mahasiswi.
Perjalanan ke Halimun yang sebelumnya
hanya ada di ruang imajinasi hingga akhirnya bisa kita rasakan di ruang nyata. Seperti
itu pula dengan harapan kita kedepan, sepuluh mahasiswi yang akan berimajinasi
menjadi lulusan Statistika IPB, sehingga kami mampu mentransformasi ruang
imajianasi dan merasakannya hingga ke ruang nyata. Mungkin juga jalannya berliku seperti ke
Halimun, tak punya uang di jalan, berbeda pendapat dengan teman, linglung
seperti anak hilang, ditengah jalan ada yang menciutkan nyali karena kita salah
jalan, ada yang membantu meminjamkan debitnya, dan beribu potret liku yang
mengombang ambing perasaan kita.
Begitu pula dengan kehidupan nyata kita
sebagai mahasiswi yang kadang masih meragukan diri akan ujian yang mungkin
menjadi beban, sejatinya bukan beban tetapi kebutuhan kita menuju tujuan yang
masih dalam imajinasi. Kadang kala berbeda pendapat dengan teman sendiri bahkan
ketika kita dan sang teman sekalipun mempunyai
tujuan yang sama mencari kebenaran, kadang kala ada juga yang akan menciutkan
nyali kita dengan mengatakan kita begini dan begitu padahal itu hanyalah bahasa
komunikasi yang belum nyambung sehingga memberi tafsiran seperti itu, atau
kadang kala juga ada yang membantu kita melewati hal-hal tersulit sekalipun di
tengah beratnya medan tempur perkuliahan J
Satu hal yang coba kujewantahkan
maknanya mengenai peristiwa pak Akur dan pak Ukar, tapi tak kunjung kutemukan
mungkin di lain kesempatan ya.. atau mungkin
diantara teman-teman ada yang mau mengupas edisi khusus Pak Akur dan Pak Ukar
yang tertukar. Hehehe.
sepotong
cerita menghantar pada tempat di mata sampai di hati
Jalan penuh gurauan ala ala zainuddin dan hayati
mendesau dan melucu baknya kereta tak henti
kita mewarnai tawa mengidap lupa waktu karena mencari
semoga bukan hanya sekedar hiburan, tapi jalan refleksi
ia hanya meniatur kehidupan mahasiswi.
beberapa dokumentasi, masih tanpa editan!
sepotong cerita hingga pada sebuah gerbang, berpose sebelum Pipit melancarkan aksinya. |
beberapa ada yang berkhayal bahwa ini adalah tempat adegan Edward Cullen dan Bella Swan |
di dalam taman Halimun salak, ada banyak curug. Curug Ciamea salah satunya, |
tidak seperti kata pribahasa, bersenang-senang dahulu bersakit-sakit kemudian ketika pulang harus menaiki tangga dari curug |
here we are! air air airr terjun... |
jadinya kenapa kayak power ranger ya? *perjalanan pulang |
No comments:
Post a Comment