Wednesday, October 1, 2014

“Senyum Bulan Sabit” yang terkutip

Senyum Bulan Sabit

Entahlah rasanya seperti angin yang tiba-tiba begitu saja melintasi di ruang pertapaanku hingga kucoba membuat sepatah dua patah kalimat yang bisa kuuntai. Walau masih amatiran aku selalu berkhayal untuk menulis. Tapi ternyata memang  benar kecurigaanku tentang menulis, bahwa semakin lama mencoba semakin mengawanglah diriku di tengah ketidaktahuanku. Kucoba menerjangi kembali beberapa deret kalimat yang dulu pernah kurangkai dan aku hanya bergumam. “Bagaimana dulu aku melakukannya aku pun tak tahu, begitu saja mengalir seiring kebersamaanku menjemput matahari. Celakanya ‘chemistry’ yang telah kutabur benihnya antara diriku dengan rentetan kata-kata itu berlalu, copot dari rongga dadaku.” Pagi ini aku hanya ingin menyulam rindu pada tiap detik yang yang telah lalu itu. “Ahh jangan ganggu aku, pagi ini aku hanya ingin mendekam kembali menggentarkan kata dan kalimatku yang terlalu kaku. Kuingin menyeru dalam aksara mencukupi kebutuhan jiwaku.”

Mengepulkan pikiran seraya berkeliling mencari dimana ide bisa aku jumpai, aku terpaku pada sebuah buku yang kubeli beberapa bulan lalu. Oleh sang penulis sebenarnya dipintaku untuk menulis resensi bukunya. Lalu dahiku mengkerut,bahkan meramu sepotong dua potong kalimat pun aku tak tahu. Apalagi membuat resensi yang katanya lebih baik lagi jika kukirim ke koran lokal untuk diterbitkan. Aku mematung dan sebenarnya tak punya daya bertarung untuk membuat tulisan seperti itu.

Dalam senyap lembar demi lembar menahan kantuk, mataku menangkap pada serombongan kalimat di serumpun semak pada buku “Sekali,Hidup Sepenuh Hati” itu. Aku putari setiap kelok-kelok kalimatnya dan mencoba merasai setiap pesan yang beliau hamburkan lewat berpotong-potong paragraf yang judulnya diberi nama “Senyum Bulan Sabit”. Menerobosi pohon-pohon semangatnya yang mengobar pada tiap kata sederhana yang tertangkap maknanya olehku. Sejuknya segenggam pesan justru mengobarkan secercah semangat.  Jika boleh aku menciplak secuil kalimat oleh Sastrawan ternama itu juga akan aku teriakkan “kesadaranku tergugat, tergurah, dan tergugah!” 

Aku mencoba menyadur kembali pesannya dengan bahasaku sendiri. “Senyum Bulan Sabit”, sebenarnya tak lain ialah penggalan kata dari namaku sendiri dalam bahasa Asing tapi lagi-lagi penggalan namaku menjadi tak penting di taman pesan ini. Lakon utamanya lagi-lagi bukanlah aku tapi si bulan sabit. Yang walau ukurannya jauh lebih mungil dr bulan purnama, walau cahaya yang ia silaukan jauh lebih redup dari bulan purnama,  ia adalah sang prakarsa, sang penanda bahwa fase awal telah dimulai, sang penanda hari-hari mulia dan Agung. Sang prakarsa yang meng’indah’kan dirinya karenya  selalu tersenyum, coba kau intip bagaimana ia merekah pada malam hari. Tak pernah sekalipun lengkungannya itu terbalik menyorakkan senyum cemberut. Lalu apakah pemandangannya hanya sebatas itu?

Sejatinya jejak yang ia tinggalkan hanya memproklamirkan sebuah proses, karena bulan bahkan rumput pun tak akan pernah luput dari kata proses apalagi seorang manusia dan segala tatanan kehidupannya. Jangan hanya terlena di tengah lautan kehidupan memandang totalitas sang bulan pernama. Karena lebih dulu ia direnda sebagai “Senyum bulan sabit”, tanda pertunjukan optimisme dan kegembiraannya. Sekiranya kita pernah  cemburu dan mengiri karena sukses dan berhasilnya seseorang, kita lupa bagaimana mereka optimis, gembira, dan konsistennya mereka untuk merajut renda-rendanya menjadi sang bulan purnama. Lalu selang beberapa lama sang bulan purnama akan menjelma kembali menjadi sang bulan sabit.  Lalu silahkan menafsirkannya sendiri. Hehe.

Begitu pula diriku yang seringkali lupa bahwa menulis ialah proses, yang harus kuserukan dengan kegembiraan serta optimisme. Karena kata sang penulis buku tersebut, dibalik optimisme selalu mendekam harapan-harapan.. J