Thursday, November 19, 2015

Mulai (lagi)

Salah satu kebiasaanku di pagi hari adalah men'scroll' updetan social media. Singkat cerita, terpukaulah aku dengan salah satu wanita bugis yang rajin menulis artikel. Some time she wrote some stories about her life, about her journey, about marriage,etc. Well, dia mengingatkan salah satu ‘dream-list’ku untuk menjadi akademisi sekaligus penulis (untuk sementara penulis amatiran pun sudah cukup membanggakan hehe). Setelah kurang lebih satu abad tidak menulis (lebay). Akhirnya pagi ini kucoba untuk mulai berjanji dengan diri sendiri. Mulai menulis! Menulis saja, walau rasa-rasanya kurang penting. Walau kata orang tulisan-tulisanku masih terlalu ‘self center’.  Percayalah kritikan itu vitamin dan mungkin memang benar bahwa aku memang masih miskin gagasan dalam menulis. Paling tidak pagi ini aku sedikit optimis untuk melanjutkan impian yang kandas ini. Bukankah seribu langkah selalu dimulai dari satu langkah awal? Seperti quote entah quote siapa, katanya think big, start small, and be persistent one.

Sebenarnya secara tidak sadar kita semua telah menjadi penulis. Paling tidak update status di berbagai media sosial. Artinya bahwa, kita semua punya potensi untuk bisa menulis. Nah, permasalahannya adalah konten dan gagasan yang ditulis. Setiap penulis tentu saja memiliki gaya sendiri dalam penulis. Lalu apa saja indikator tulisan yang baik itu? Sebenarnya aku pun tidak terlalu paham mengenai tulis menulis. Impianku sederhana saja, menulis bagiku adalah ruang untuk refleksi diri, ruang membingkai kenangan, dan sekaligus ruang relaksasi. Apalagi, Menurut sebuah penelitian oleh University of Maryland School of Medicine, mengungkapkan bahwa perempuan adalah mahluk yang sangat verbal. Sehingga rata-rata perempuan berbicara sebanyak 20.000 kata sehari, sedangkan pria hanya 7000 kata saja perharinya. Well, mungkin secara psikologi wanita memang butuh hasrat berbicara, dan menulis adalah salah satu cara berbicara dengan tulisan.
Meski tidak semua mampu kuceritakan secara utuh!! 

Friday, October 16, 2015

Aku dan senja

senja ini ijinkan aku sedikit merenung
tentang perjalanan panjang yang sangat menggantung
sebenarnya paling tidak aku ingin sejenak membisu
seakan duniapun sementara berhenti melaju
aku hanya ingin terperangkap dalam semu
dimana hanya ada aku akan diriku

ah? bagaimana kabarmu wahai diriku? pun jua kabar jiwa dan hatimu wahai diriku?
sejenak mari kita hilangkan risau
tentang masa depan pun masa lalu...




Sunday, May 24, 2015

Bermain Peran

Siang ini memang matahari sedang keterlaluan, namun tak pantas rasanya untuk mengecam. Semestinya terik ini menjadi sebuah keindahan. Lagi-lagi nikmat selalu aku dustakan.
 
Sambil menyusuri jalan aku berbincang, pada keramaian yang ingin kunikmati sendirian, mungkin karena sebuh pesan tersirat dari seorang kawan. meski hanya berupa lagu yang iramanya tak begitu mengesankan, namun sebenarnya di suatu tempat kan kau temukan bahwa maknanya tersirat sejuta kepentingan!

Lagu itu sejujurnya mulai mendendang. Hingga di benakku dipenuhi pertanyaan? apa, siapa, dimana, dan sedang apa aku sekarang, kemarin, dan hari yang akan datang?

Di tengah-tengah keramaian kucoba rasuki pikiran, pun jua mendengar suara hati yang makin tenggelam mungkin karena dikalahkan pita suara yang lebih lantang.

Lalu kudapati diriku pada sebuah pusaran. aku sedang bermain peran!

Suatu waktu aku menjadi murid, suatu waktu aku menjadi guru dari seorang murid. Suatu waktu aku dirajai ego, lalu satu waktu kelembutanku mengalahkan ego. Suatu waktu aku adalah pahlawan, lalu suatu waktu aku menjadi pengecut yang terhinakan. Suatu waktu pujian lah yang kudapat, lalu suatu waktu cacian yang kuterima.

Aku sedang bermain peran di suatu ruang dunia dalam dimensi pikirku. Aku sedang menyusun mozaik-mozaik peran yang kadang menggelabuiku. Aku sedang menghampar ladang yang buahnya ada dalam ruang ketidakpastianku. Aku sedang merangkak namun perlahan-lahan mengejar tempo menikmati berjalan, berlari, melompat, walau terjatuh!

Aku sedang belajar bahwa 'sendiri' perlu di tengah keramaian pun beramai-ramai di tengah kesendirian. Aku sedang belajar mencintai miskin ketika kaya pun mengayakan ketika miskin menghadang. Aku sedang belajar memenuhi perut terlebih jiwaku. Aku sedang belajar menyambung hidup terlebih menjadi hidup itu sendiri. Aku sedang belajar menapaki realita diriku terlebih realita sosial.
Aku sedang belajar keseimbangan!

Aku sedang membuat ilusi dalam ruang imajiku. Aku sedang berpetualang menyusur lorong lorong di dunia menjewantah tempat nyata. Aku sedang takjub pada dunia yang katanya begitu fana. Namun fana lagi-lagi adalah ruang persepsi. Ciptaan Tuhan mana yang akan sia-sia?

Aku sedang sibuk mengumpul pundi-pundi dunia. Aku lelah hingga aku pun berpulang pada rumah yang aku definisikan sendiri. Dimana aku bisa belajar mencinta!

Aku sedang belajar mencinta. Mencinta Sang Maha Pecinta. Sang Maha Pemilik Cinta. Pantaskah jika aku sedang mengharap perjumpaan? Perjumpaan denganMu Yaa Rabbi, Yaa Rahman, Yaa Rahiim.....

Thursday, May 21, 2015

malam (1)

malam makin larut 
segala daya kian surut
pikiran sembrawut
gelombang otak makin kusut
aku hanya ingin sedikit menghasut
suara itu kian menuntut

bukan soal jarak pun soal durasi
bukan soal prasangka pun soal curiga mencurigai 

lalu dimana jiwa kita beterbangan?
keikhlasan tanpa kepentingan
mungkinkah kita temukan?





Wednesday, May 6, 2015

Bukan Pecinta Kopi

Mei menjelang, belum satupun tulisan tersulam 
Mungkin aku yang masih miskin gagasan
Maka kucoba untung mendendang lewat tulisan
Walau hanya sekedar coretan pribadi yang sedikit usang

Pagi ini sambil menikmati kopi, aku terheran
Sejak kapan kopi menjadi pilihan?
Ah, sungguh kafein begitu menakutkan
Sebelumnya itu yang sering terpikirkan
Tentu saja kuyakini karena dokter yang menyarankan

Sepagi ini kujejakkan kaki di perpustakaan
Hanya sekedar untuk menuntaskan jawaban 
yang tak kunjung kutemukan
Tesis harusnya tak boleh jadi sebuah beban
Maka kuformulakan gelombang otak mana yang akan berperan
Alpha, beta, delta, mungkinkah dikondisikan?

Lalu kututup kelopak mata dengan tenang
Menghitung berapa tarikan nafas yang terhembuskan
Lalu lagi-lagi kupertanyakan
Mengapa kopi menjadi pilihan?

Friday, April 17, 2015

Menuju kota hujan

Beberapa hari belakangan ini, rasa-rasanya saya hampir tak menyempatkan waktu berdialog dengan diri sendiri, ketika beberapa aktifitas satu menuju aktifitas lainnya saling tumpang tindih, dan saya terlena di euforia itu. Tugas yang satu belum selesai dan sayapun harus segara menyelasaikan tugas baru. Kuterima sebagai konsekuensi atas pilihan dan ingin kujalani seikhlas-ikhlasnya pengabdian.

Malam ini sembari memperhatikan wajah-wajah di sekitar saya, saya yang sudah terlalu larut menyusuri jalan pulang ke Bogor, saya yang sudah terlalu lelah karena semalam begadang namun harus tetap menjemput matahari, mengejar waktu ke ibu kota dan mengelilingi ibu kota hari ini sungguh sangat melelahkan. Kucoba memejam, sebagai ancang-ancang mencuri-curi istirahat. Hitung-hitung sebagai tambahan tenaga ekstra untuk tiga hari ke depan. Tiba-tiba telepon berdering.

Seketika mata yang tadinya 5 watt, tiba-tiba melek semelek meleknya karena satu kalimat,  "ila, mappettu ada ka bulan depan". Haru, bahagia, dan lelahpun tak ada yang mampu bertahan. Lalu akhirnya percakapan antara kami sangat antusias. "Mappettu ada" sendiri adalah salah satu rangkain proses lamaran yang dilakukan hampir seluruh keluarga perempuan bugis ketika menerima pinangan.

Sahabat terbaikku, beruntung dan bersyukurlah, Ia menitipkan keyakinan itu padamu.
Barakallah sahabat terbaikku, semoga menghantarkanmu dan calon suamimu kepada Pemilik Cinta..

Aamiin..yaa rabbal a'lamiinn...

*menikmati cahaya malam dari jendela kereta listrik menuju kota hujan*

Wednesday, April 8, 2015

Menjemput dan atau menunggu

Malam ini ijinkan aku mengutip satu dua baitmu
aku terpukau pada 'nyanyian sunyi seorang bisu'mu
hanya untuk penggalan pertama 'permenungan dan pengapungan'mu

"surat ini takkan mungkin bisa dikirimkan,
takkan mungkin sampai di tanganmu,
liat dia tetap kutulis untukmu"

gejolak bisumu pelan-pelan nyata merasukiku
menyatu dengan nafasku
lalu mengapa kau sebut ia 'nyanyian bisu'?
karna sejujurnya tak pernah ku bersungguh-sungguh ingin membisu
namun memang dayaku yang hanya mampu membisu
menyeretku terperangkap pada "permenungan" yang berliku
permenungan yang pernah tersebut menjemput dan atau menunggu

tak perlu kubercerita seberapa sering aku menjemput
pun tentang apa yang kujemput, yang kunamai matahari itu
menjemput matahari adalah canduku tak pernah kurisaukan sekalipun

memang bukan menjemput matahari yang menjadi 'permenungan'
ah sekiranya 'permenungan'ku ini tentang harapan
lalu mengapa menjemput harapan ini semakin merisaukan?

menjemput dan atau menunggu?
walau terdengar tak lazim tetap kutulis "dan atau"
ia hanya ruang semesta yang aku bangun pada 'permenungan'ku
menjemput dan menunggu, menjemput atau menunggu?

entah kutukan atau kepasrahan walau telah biasa aku menjemput
kali ini, aku tanya punya daya tarung
meski mungkin tak berujung, aku menunggu...

biar kurasai yang kutunggu masih semu, menjemput matahari akan tetap menjadi candu! Menjemput matahari, Menjemput-Nya, yang kan menuntunku pada rupa ujung penungguanku

*sambil mendengar "nyanyian sunyi seorang bisu" oleh mas pram

Monday, April 6, 2015

Es Kelapa Muda Tanpa Gula

Kisahnya kurang lebih sama ketika sebulan  saya menetap di Pare,Kediri,Jawa Timur. Hampir setiap hari saya membeli jus jambu biji pada ibu-ibu yang menjajakan buah dalam bentuk jus. Sebenarnya jus jambu merah adalah satu-satunya pilihan yang menurut pendapat saya resikonya paling rendah untuk dikonsumsi tubuh saya. Resiko dimaksudkan disini tak lain adalah asam lambung yang seringkali tidak stabil dan mengakibatkan efek domino terhadap aktifitas dalam tubuh maupun luar tubuh. Merupakan hal yang wajar ketika setelah beberapa waktu membeli sang Ibu yang menjajakan bahkan sering mendahului, "Jus jambu ya mba?" dan seketika muka saya berubah menjadi jus jambu di alam bawah sadarnya. Dan semenjak itu ia selalu bertanya hal-hal di luar jus jambu kepada saya. Contoh "Mba asli mana? Kapan pulang ke Makassar mba? Mba baru kelar kelasnya? Mba kenapa baru nongol?"dst.

Hal yang sama dengan beberapa minggu ini, setiap menyusuri lorong ke kosan, saya sering membeli es kelapa muda tanpa gula. Setelah beberapa kali membeli. Sepertinya alam bawah sadar mas-mas di warung itu sudah mengkodekan muka saya dengan es kelapa muda tanpa gula. Lalu akhirnya tadi mas-mas nya sepertinya mulai kepo. Dia menanyakan "Kenapa ga pakai gula mba?" lalu saya jawab dengan cool "Iya mas, kebetulan sy sudah manis jd ga butuh gula" lalu semua mata memandang saya, mungkin sekedar mengecek kebenarannya.Akhirnya saya putuskan untuk memberi alasan yang kira-kira bisa ia terima. "Lebih alami, mas.. " saya menimpali. Kemudian disodorkan lah pada saya batok kelapa, "Kalau gitu yang ini aja mba ini lebih alami" Lalu lambat laun si mas-masnya malah mulai  bertanya, "Mba asli mana?"dst.

Saya ingin mencoba untuk menelaah kejadian-kejadian tersebut. Walau terkadang kelihatan "kurang kerjaan". Pertama, bahwa hal yang sama ketika dilakukan secara berulang-ulang lambat laun akan menstimulus alam bawah sadar sehingga tanpa perlu berpikir lagi, spontanitas akan kegiatan tersebut mulai terbentuk. Sehingga memang untuk bertransformasi mengaplikasikan dan menebar benih-benih kebaikan dalam diri harus sesegera mungkin dilakukan lalu dibiasakan. Walau mungkin dengan sedikit "pemaksaan" dalam diri. Kedua, bahwa perkenalan itu ialah sebuah proses. Interaksi yang sering mungkin memudahkan kita untuk mengenal. Ketiga, bahwa bisajadi kita tidak hanya sampai kepada level mengenal, namun memahami.

-sambil seruput es kelapa muda tanpa gula-

Wednesday, April 1, 2015

Statistisi, Statistikawan, Statistikus

Beberapa hari yang lalu sebenarnya saya berniat hendak membuat tulisan mengenai seminar yang sebenarnya ditujukan sebagai penghargaan kepada Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion, beliau lebih dikenal oleh teman sejawat serta murid-murid atau mahasiswanya dengan sapaan sederhana pak Andi. Saya bahkan pertama kali mendengar nama beliau ketika pertama berkunjung melewati gedung rektorat IPB, namanyalah yang disematkan di gedung beberapa lantai itu. Siapa pak Andi Hakim Nasoetion pun sebenarnya saya tak mengenal betul seperti mahasiswa-mahasisiwi pak Andi yang pernah dan sering berinteraksi secara langsung dengan beliau, saya hanya mencoba mendengarkan kisah tentang beliau pun membaca sedikit tulisan mengenai beliau, bukunya bahkan belum sempat kulahap, saking langkanya..

Yang saya ketahui ketika melakukan penelusuran di google, beliau adalah Bapak Statistika Indonesia, beliau tak pernah lepas dari peranan statistika di IPB saat ini, menurut beberapa sumber menyebutkan bahwa Statistika IPB merupakan yang tertua di Indonesia, namun ada beberapa pula yang membantah bahwa sebenarnya pertama kali Unpadlah yang menjadi pencetus di Indonesia.

Kembali membahas mengenai pak Andi kaitannya dengan statistika. Pada salah satu tulisan orasi ilmiah guru besar statistika oleh Prof.Asep Saefuddin yang berjudul "Statistika : dulu, kini,dan masa depan" menggambarkan mengenai pemikiran pak Andi menyangkut pentingnya statistika sebagai alat bantu dalam penarikan kesimpulan. Beliau mengilustrasikan bahwa manusia ialah orang-orang buta yang ingin mengetahui bentuk gajah. Ada yang menyimpulkan bahwa gajah berbentuk cameti, karena orang buta tersebut memegang ekor gajah. Orang buta lain kebetulan meraba perut gajah, maka disimpulkannya gajah itu berbentuk tabuh. Ada juga yang menyimpulkan gakah seperti pedang dan lain-lainnya. Manusia melek pun sebenarnya buta untuk hal-hal yang belum diketahuinya.

Sehingga Alm. Pak Andi menegaskan bahwa manusia membutuhkan tongkat dan Statistika adalah tongkat yang beliau sodorkan yang dijelaskan dalam orasi beliau kurang lebih 42 tahun yang lalu "Statistika sebagai tongkat di daerah ketidaktahuan". Pemikiran beliau mengenai hal tersebut pun dewasa ini masih sangat relevan dengan kompleksitas akan ketidakpastian. Analisis wilayah ketidakpastian malah semakin merambat di bidang ilmu sosial, asuransi, ramalan cuaca, kesehatan, bisnis, manajemen,politik, pertanian, energi, pangan, bahkan dalam ruang lingkup biomolekular sekalipun.

Memang pada hakikatnya statistika adalah alat, sehingga menggunakannya pun harus tepat. Mengutip sambutan oleh dekan fmipa IPB, statistika jika diandaikan sebuah pisau, ia dapat digunakan untuk mengupas dan memotong buah, pun juga dapat digunakan untuk "membunuh" maka hal-hal yang patutnya menjadi perhatian oleh orang-orang yang menekuni dan menggunakan statistika ialah menggunakannya dengan tepat dan tentu dengan kejujuran para statistisi.

Berhubungan dengan kata statistisi, hanyalah sebuah istilah bagi yang menekuni bidang ilmu tersebut, walau kadang pula beberapa orang menyebut statistikawan, ataupun statistikus.

Saturday, March 28, 2015

Rumah

Paling tidak ingatanku tergugah, oleh suatu masa ketika ia menitipkan sedikit cakrawalanya padaku..
Paling tidak cahaya itu tak benar-benar telah mati..

Tak bisa dipungkiri aku semakin terengah-engah terlalu sibuk menata duniaku sendiri, menjawab semua obsesi akal, aku memang penasaran, seberapa hebatnya suatu ilmu..

Namun aku lupa 5 tahun lalu di suatu sore oleh suatu lembar kertas yang kini hanya tinggal aksara semata, aku berpatri untuk membangun sesuatu lalu aku simbolkan saja ia dengan sebutan "rumah"

Memang "rumah" ini selalu bergantung dengan definisi dan konteksnya, boleh jadi rumah disni adalah bangunan.. pun, rumah disini juga boleh jadi ialah tempat yang "nyaman" tempatku berpulang, mungkin juga adalah sesuatu yang selalu aku rindu-rindukan, ah rumah disini hanyalah lusi-ilusi yang tidak tunggal yang aku bangun, dan hanya Aku dan Tuhanku sahaja yang paham..

Berbicara mengenai rumah yang satu ini, jelas aku sangat mendambanya, bisa kuvisualisasikan ia ketika kelopak mataku tertutup, dan pagi ini aku terenyuh, merasa berdosa, merasa berkhianat, pada "rumah" yang sempat terlupakan itu..

Aku pernah bermimpi, membuat rumah dimana ada banyak anak yang mengenyam ilmu, ada banyak guru yang dirindu sang anak, ada banyak ilmu yang berkeliaran, (walau tanpa aku tahu bahwa ternyata itu adalah mimpi ayahku), aku pernah bermimpi seindah itu, lalu mengapa aku seolah berlagak lupa? Lupa karena aku hanya sibuk dengan yang lain dan mungkin dengan diri sendiri..

Lalu tak pernah ada yang kebetulan, peta yang pernah aku rangkum sendiri walau tak bernyawa, tapi ruhnya seolah mengajak semesta mengingatkanku.. dan hari ini aku menemukan rumah yang terlupakan..

Semoga selalu diberi hidayah untuk menjejak di bumi ini, menebar benih-benih kebaikan entaha berapapun kadarnya, lalu semoga ia benar-benar bisa terwujud..

Aamiinn Aamiiin yaa Rabbal Aa'lamiiinn...

-Sesaat setelah mengikuti Seminar Relawan Pendidikan-

Wednesday, March 25, 2015

Aku Ingin Pulang (Bukan Lagu Ebiet G. Ade)

Malam ini jalan trotoar kampus kususuri, obrolan jangkrik yang entah berantah di sela rerumputan yang tak tertangkap retina mata memekik tanpa henti, perjalanan kampus-kosan malam hari sudah terlampau biasa kulalui, ritme yang sama berulang setiap hari, dan pun hampir setiap jam yang sama aku hanya dilenakan oleh molekul, gen, metabolisme,senyawa kimia,serta protein... (lagi dan lagi)

Semenjak memutuskan untuk bergabung di riset biofarmaka, seketika dunia laga statistikaku berubah aku terlalu sibuk mencumbu statistika! Berlebih pada paduan biofarmakologi yang akupun dibuatnya kadang-kadang resah. Lalu ijinkan aku sejenak mendesah, sedikit merajuk karna mungkin sedikit lelah, bukan lelah seperti kata anak muda pada umumnya, sebab kupastikan bahwa jenis lelah ini sungguh sangatlah megah. Namun masih ada yang membuncah, aku ingin pulang....

Aku ingin pulang, bukan karena tembang lawas Ebiet G Ade yang sering menemani pencarian database yang kian merabunkan. Lagi-lagi bukan  lagu Ebiet G. Ade.

Aku ingin pulang, raga ini tentu saja tak perlu memerintahkan otak menginstruksi kaki untuk melangkah ke kosan dan tanpa perlu lagi kutuntun sepasang kaki karena sudah barang tentu ia melihat jalan pulang yang beribu2 kali ia jajaki menuju rumah yang hanya sepetak kamar, kusebut ia kosan. Lalu mengapa tetap saja ada gundah?

Aku ingin pulang, pada yang kusebut ia rumah, pun yang "nantinya" kusebut ia rumah, rumah yang dalam batas khayalpun belum sanggup aku jamah dengan desain sedemikian rupa selalu berubah-ubah. Rumah tak kekal yang mendamaikan jiwa dan raga walau hanya sementara, ahh aku ingin pulang menuju rumah yang kan mampu menghatarkanku ke istana-Nya.

Aku ingin pulang, walau tak kunjung kudapati jalan pulang, walau jalan pulang masih dalam ruang abstraksi yang tak terjewantah, lalu mungkin judul tulisan harus sedikit aku ubah, tunjukkan aku jalan pulang....


*sedikit tulisan yang agak tidak penting, malam hari di kota hujan*

Monday, January 12, 2015

Kota hujan yang sedang tak hujan

Ada yang mencoba menyapa angin
Di penggalan jalan yang dingin
Ahh meneduhkan lalu kemudian membingungkan!
dimana yakin kan kuteguhkan

Sepotong bisikan sosoknya yang tua menghampiri
mengapa tak kau balas saja niatnya yang suci?

Ahh malam ini kota hujan tak sedang hujan
Dan sekali lagi angin begitu dingin
Ada apa dengan pertanda yang silih berganti?
Mungkin ia yang kunanti..

*Malam hari di kota bogor, tak hujan namun dingin*