Friday, November 22, 2013

Resah Menjemput Matahari

rumus apa yang akan menjabarkan segala kegundahan akan euforia
mengikat alam fantasi menjauh dari nyata
merobohkan pondasi rapuh mungkin karena terlena 

menjemputmu tak lagi seindah kemarin, aku yang mengacaukannya..

diam-diam aku menguntai janji
berjanji menjemputmu di semua hari
karena ingin menjumpai sang Ilahi
di gelombang yang jelas terdefinisi
sepertiga malam terakhir..

bumi indah menjelma penuh konspirasi
melumpuhkan daya mengejar cinta sang Ilahi
mengkhianati benag-benang janji yang kurajut sendiri
aku tidak terjaga dua malam ini
tubuhku meraung-raung karena merintih
getaran dan sirene pun mengkelabui
menjadi tak sadarkan diri hingga subuh menanti..

Allahumma ‘aafini fi badani ; Ya Allah sehatkanlah badanku
Allahumma ‘aafinii fii sam’ii ; Ya Allah sehatkanlah pendengaranku
Allahumma ‘aafinii fi bashori ; ya Allah sehatkanlah penglihatanku

Wednesday, November 13, 2013

Masih Menjemput Matahari

Bumi cinta penghantar malam berujung
Menguntai sedikit janji untuk bangkit merindu
malam hanyut dan getar si hitam menderu
resonansi seberang lembut walau parau
matahari dingin menggema, menyapa lebih dulu
mungkin sekedar menuntaskan jawaban pesan malam tak terbalaskan itu
untung ada matahari dingin yang mengaum syahdu..

bangkit mengumpul ruh dan jiwa yang telah merantau
ke arah mana tadi ia berkunjung sang jasad pun tak tahu
buliran-buliran membentuk di bejana biru
dan waktu semakin berlalu
pertanda gerak haruslah melaju

membentang permadani indah bak ingin berlabuh
usir para makhluk penggoda iman karena berbuat rusuh
kenapa tak jua mereka menjauh?
ehm tenang saja, memang butuh sedikit gertakan dan waktu..

hening membangkitkan memori rindu
trakhir kali jemari harus menyapa wajah dengan menyapu
hidung bahkan harus mencari tisu..
bak sepertiga-malam di sepuluh hari terakhir malam AgungMu..
menggelegar sejadi-jadinya, mempertanyakan kesucian makhlukMu,
masih pantaskah ia merindu?

menelusuri kemana jiwa harus bertumpu,
Kemana lagi, Jika bukan padaMu tertuju?
rindu akan nikmatnya merindu
terulang lagi layaknya sepuluh malam terakhirMu lalu
sisa-sisa kotoran itu masih menjadi tamu
bercokol di ruh dan jasad yang telah remuk..

manisnya kata mulai merayu merajuk..
merengek bak anak balita hendak dicumbu sang ibu
meraung-raung hingga lagi-lagi wajah malu tersapu
kelam setahun lalu dan bertahun-tahun lalu masih menyiksa dalam semu..
masih layaknya batu.. berkhayal menjadi kapas putih lembut.. 
ringan, beterbangan menerobos langit yang Maha Agung..
karna AsyuraMu pengobat ragu dengan janji yang Engkau Tabur
desah dan isak menyeru, smoga saja Engkau sudi bertemu...

La ilaha illa anta. Subhanaka, inni kuntu minazzhalimin… 
Tidak ada tuhan selain-Mu. Maha Suci Engkau. Sungguh, aku ini sudah berlaku zalim…


#menjemputmatahari #10muharram

Saturday, November 9, 2013

merindu

merindukan hari ini atau melepas rindu akan hari ini? sepertinya jiwa telah menemukan peraduannya..
smoga tak ada benih-benih yang tak sepantasnya untuk disemai.. biarkan ia menyucikan hakikatnya..
menghaturkan doa untuk para pejuang penebar benih benih kebaikan itu..

finally here we are!
“Entah berapa banyak lagi para penebar benih-benih kebaikan yang lagi-lagi akan kutemui hari ini”,gumamku penasaran dalam hati sembari menyapa dinginnya megamendung puncak bogor. Hari ini memang adalah hari yang telah kunanti-nantikan seminggu ini. Entah mengapa aku hanya ingin mencari sosok penebar benih yang mungkin tak begitu mau dikenal oleh dunia karena menjaga kesucian kebaikan yang diberinya itu. Hingga pada akhirnya tepat pukul 14 lewat aku bersama teman sekamar berkunjung di sebuah yayasan ini, yayasan puspita. Lumayan cukup jauh dari kamar kosan tercinta kami.


kemampuan fotografi yang dangkal, ingin memotret semua sudut sebenarnya. tapi apa daya kemampuan fotografer dan kamera tdk begitu mendukung.
Cuaca memang begitu dingin tapi menyapa hangat, bulir bulir air yang jatuh dari langit menyapu muka kami seolah mencium kami dengan rona kebaikan tempat itu. Aku tertegun sejenak, mendongakkan kepala ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang mencoba untuk melebarkan mata seolah-olah meminta jurus untuk melihat semua sudut hutan itu. Mungkin dulu disini hanyalah hutan atau semak belukar kataku. Hanya ada beberapa saung, beberapa bangunan yang saling berpisah, berdiri tegak bak tersusun di atas bukit-bukit yang indah. Bangunannya sederhana, sesederhana bapak yang kutemui dan menyuguhkan teh panas buat kami. Beliau adalah Bapak pendiri yayasan itu.

Perbincangan begitu hangat dengan beliau, bercumbu rayu dengan seorang lelaki kecil berumur 2 tahun lebih yang kami panggil dengan sebutan dek ris. Ini adalah kedua kalinya aku terkejut! Sebelumnya kami meminta tolong pada seorang santri pondok di yayasan itu untuk memberi tumpangan pada kami untuk menyapa sang Ilahi. Mereka mengajak kami ke asramanya. Kami menemukan balita kecil yang begitu sangat mengejutkan kami. Balita yang begitu sibuk bermain dengan dirinya sendiri tergeletak di lantai beralasakan tikar dan diselimuti yang menaatapku keheranan seolah ingin berkata. “ hey kak ada apa denganmu? Aku baik-baik saja”. Aku terkesima dengan balita yang tak pernah sekalipun kudengar suara tangisnya layak balita lainnya. Tentu saja aku heran mengapa ada seorang balita disini? Kataku dalam hati. “siapa balita ini?” kataku pada seorang santri. “Dia de’ ran kak, anak yang jadi tanggung jawab kami semua” kata santri itu. aku semakin bingung. “Orang tuanya tak sanggup mengurusnya hingga menitipkannya ke sini” rasaku mulai membuncah. Dan ini kali kedua terkejut melihat sosok anak lelaki kecil lucu de’ris ternyata berlatar belakang sama dengan de’ ran. “Betapa mulianya bapak ini,” kataku dalam hati. Entah berapa banyak lagi buku Tuhan yang harus kubaca dan kumengerti dengan setiap rentetan peristiwa yang mengalir pada hari ini. Ini adalah skenarioNya buatku dan mungkin juga buat teman-teman yang lain. Sebelum ke tempat itu, sebenarnya aku hanya tahu bahwa disana adalah tempat para penuntut ilmu, dan para relawan yang mau membagi ilmunya dengan anak-anak. Aku hanya tahu itu. Ternyata nilai-nilai kebaikanNya bermekaran sangat sempurna di pada tempat itu.
dek ran.. menjadi anak yang tumbuh kuat layaknya telah dijaga sejak di kandungan

Kini giliran menyapa anak-anak pondok itu, bangunan tak berdinding hanya bak sebuah gazebo yang kecil nan sederhana, kami semua membaur membentuk sebuah lingkaran kecil. Hanya perkenalan kecil tapi tersirat kebahagiaan di pelosok jiwa, betapa sangat merindunya jiwa ini dengan suasana seperti ini. Senyum kecil menyemai di wajah-wajah sang pencari kebaikan. Menatap satu sama lain, tak hanya sekedar menatap wajah mereka yang begitu damai tapi menyelami jiwa para sang pencari kebaikan-kebaikan itu. Tak kenal lagi siapa yang muda dan tua, itu sudah menjadi takdir dan ketetapan Tuhan. Umur seberapapun makhluk itu pasti akan selalu merindukan kebaikan. Terimakasih tak terhingga padaMu atas Nafas yang tak bisa kuhitung ini dan segala kerinduan yang membuncah pada hari ini.


perkenalan singkat 
wajah-wajah polos mereka


Thursday, November 7, 2013

mengartikan sepi

gemiricik air menginspirasi kata sepi
menjadi topik untuk dinikmati oleh malam
mencari kata yang pantas untuk disandingkan kata sepi

baiklah mari mencoba mengartikan kata sederhana
memutar balikkan otak dengan segala dimensi darimana datangnya?
 jika sepi adalah persoalan raga, yakin saja tak ada yang hilang..

tak ada yang begitu berbeda
karena tak terhitung banyaknya cerita
terlalui oleh banyaknya episode bersama bebagai makhluk ciptaan-Nya

jika sepi ialah diam
tentu saja tak akan pernah sepi
matahari, bumi, tak pernah diam

apa harus mencoba menyelami jiwa kembali?
memutar ingatan yang disebut memori
mencari yang hilang
mendapati cermin diri yang terlupakan..
lalu akan kusebut apa episode-episode itu?


boleh jadi sepi adalah persoalan jiwa
menghantar diri pada kerinduan itu
yang tak kunjung terbalaskan
logika kembali berkecamuk.. logika menuntut keadilan!

dan tulisan pun harus diakhiri dengan titik..

Friday, November 1, 2013

Cahaya Matahari vs Cahaya Bulan


Subuh ini seperti biasanya tak pernah lagi ada pagi yang terlewatkan tanpa menjemput matahari. Entah mengapa jadi malu rasanya jika tak menjemput. Semakin lama semakin banyak pula untaian makna yang menyirati jiwa seiring kebersamaanku menjemputnya. Ia begitu dingin, tapi kemudian begitu hangat hingga bahkan menyengat. Tapi ia ‘memberi’ begitu banyak sumber kehidupan kepada makhluk-Nya. Andai saja ia menenggelamkanku dalam lingkar pemberi kehidupan itu. Ahh.. aku hanya bocah kecil yang berkhayal baknya matahari memberi cahaya. “Lalu cahaya apa yang aku punya?” bisikku pesimis

Sembari menjemput pagi mari kita merenung tentang siklus kehidupan yang begitu umum, terlahir sebagai manusia, belajar merangkak hingga berjalan, belajar berbicara, kemudian menempuh pendidikan SD-SMP-SMA, menempuh pendidikan tingkat Perguruan Tinggi , kerja, menikah, punya anak, kemudian, punya cucu dan sebagainya. Lalu apakah hanya sekedar itu? Setidaknya menjemput matahari memberiku sedikit ruang untuk berimajinasi menyilaukan cahaya sedikit demi sedikit. “Emm Aku hanya perlu mengumpulkan cahaya untuk disilaukan” kataku mulai optimis. Tapi tunggu dulu, “apakah ada yang kebetulan dengan nama ‘Cahaya Bulan’ pemberian kedua orang tuaku?”tanyaku dalam hati. Bulan juga tak mempunyai cahaya, sama sepertiku. Ia hanya memantulkan cahaya dari sang matahari yang sering kujemput itu. Aku mulai mengerti.

Mari kembali pada dunia nyata yang harus dijalani. Entah statusnya berupa apa, sudah menjadi kewajiban untuk menjadi seorang pembelajar. Hanya kebetulan saja tersandang label “mahasiswi” pada ragaku. Sebagai mahasiswi asal luar pulau Jawa yang baru pertama kalinya menuntut ilmu di pulau Jawa, aku cukup terkesan dengan gigihnya sang pembelajar menuntut ilmu di tanah ini. Kesenjangan pendidikan memang tak bisa dipungkiri, bahwa mereka di luar sana banyak yang tak mampu menikmati indahnya menuntut ilmu di tanah ini.

Seperti pada tulisan sebelumnya aku hanya melihat ada yang memang begitu berbeda dengan kebijakan tertentu yang telang dirancang sedemikian rupa sehingga pembelajarnya benar-benar jor-jor-an menuntut ilmu di kampus ini. “Be one hundred percent or get zero” begitu kata salah seorang dosen cantik yang sempat memukauku nampak dengan segala kesederhanaannya dibalik keluarbiasaan beliau (sepertinya akan ada tulisan edisi khusus tentang sosok ibu yang satu ini).

Memang benar bahwa kebijakan dan ‘aturan main’ menjadi momok mahasiswa baru. Sistem ‘drop out’ yang sangat ketat. Sehingga membuat mahasiswi mengebu-gebu dengan semangat juang yang tinggi menjulang hingga ke langit untuk belajar mati-matian agar terhindar dari musibah ‘drop out’ itu. Jika kita berjalan-jalan ke kampus akan terlihat bagaimana para mahasiswa dengan giatnya berjalan sambil mengulang materi kuliah, perpustakaan yang tidak pernah sepi hingga malam hari sekalipun (terutama pada musim UTS dan UAS), kelompok belajar bertebaran di setiap sudut kampus dan kosan.

Kembali hanya meluruskan niat ketika ‘ujian’ yang menjadi ‘penentu’ itu tiba. Di tengah tuntutan sistem seperti itu kadang kala sang perusak jiwa yang tak terlihat itu (read: setan) menggodaku untuk berbuat curang pada saat ujian ketika ada sela ‘kesempatan’ untuk berbuat curang. “Apakah kita belajar mati-matian hanya untuk sebuah huruf ‘nilai’ yang tercantum pada academic record?” tanyaku pada salah seorang teman seperjuangan. “Kita kan dituntut seperti itu lal” katanya.

Aku hanya teringat pada rutinitas menjemput pagi dan tentang segala nilai-nilai kehidupan yang kuyakini. Tentang cita-cita kecil nan sederhana untuk memberi cahaya walau sadar tak punya cahaya. Hingga berkhayal lagi jika bahkan aku tak punya cahaya itu, akan kukejar dan kutangkap dia lalu kukurung dia dalam jiwaku. Tapi ternyata aku salah. Cahaya itu sebenarnya sudah dianugerahkan sang Pencipta bersemayam pada diri sendiri. Hanya saja butuh sedikit trik untuk menghadirkan atau menyilaukannya sekalipun. Bukankah kita terlahir sebagai manusia yang luar biasa? Hingga dalam penciptaan pun, Tuhan menyeru pada malaikat dan jin untuk bersujud pada Adam. Akhirnya kusimpulkan saja, ketika diri ini gelap dan kotor mana mungkin bisa menjadi terang? Cahaya itu muncul ketika kita mampu membersihkan segala dimensi yang ada pada diri.


Ketika diberi label oleh dikti sebagai ‘calon dosen’ kembali lagi meluruskan niat. Menjadi dosen hanyalah sebuah label. Pada akhirnya diri kita lah yang menentukan ingin menjadi apa.. bisa jadi kita menjadi sekedar ‘pengajar’ atau menjadi ‘pendidik’. Setelah berkecimpung di dunia pendidikan selama bertahun-tahun tentu saja aku bercita-cita menjadi “pendidik”. Bagaimana mungkin ketika aku bercita-cita menjadi pendidik yang berlabel dosen kemudian tetap saja berbuat curang. "Lalu cahaya apa yang akan kuberi nantinya?"