Senyum Bulan Sabit |
Entahlah rasanya seperti angin yang tiba-tiba
begitu saja melintasi di ruang pertapaanku hingga kucoba membuat sepatah dua
patah kalimat yang bisa kuuntai. Walau masih amatiran aku selalu berkhayal
untuk menulis. Tapi ternyata memang benar kecurigaanku tentang menulis, bahwa semakin
lama mencoba semakin mengawanglah diriku di tengah ketidaktahuanku. Kucoba
menerjangi kembali beberapa deret kalimat yang dulu pernah kurangkai dan aku
hanya bergumam. “Bagaimana dulu aku melakukannya aku pun tak tahu, begitu saja
mengalir seiring kebersamaanku menjemput matahari. Celakanya ‘chemistry’ yang telah
kutabur benihnya antara diriku dengan rentetan kata-kata itu berlalu, copot
dari rongga dadaku.” Pagi ini aku hanya ingin menyulam rindu pada tiap detik
yang yang telah lalu itu. “Ahh jangan ganggu aku, pagi ini aku hanya ingin
mendekam kembali menggentarkan kata dan kalimatku yang terlalu kaku. Kuingin menyeru
dalam aksara mencukupi kebutuhan jiwaku.”
Mengepulkan pikiran seraya berkeliling
mencari dimana ide bisa aku jumpai, aku terpaku pada sebuah buku yang kubeli
beberapa bulan lalu. Oleh sang penulis sebenarnya dipintaku untuk menulis
resensi bukunya. Lalu dahiku mengkerut,bahkan meramu sepotong dua potong
kalimat pun aku tak tahu. Apalagi membuat resensi yang katanya lebih baik lagi
jika kukirim ke koran lokal untuk diterbitkan. Aku mematung dan sebenarnya tak
punya daya bertarung untuk membuat tulisan seperti itu.
Dalam senyap lembar demi lembar menahan
kantuk, mataku menangkap pada serombongan kalimat di serumpun semak pada buku “Sekali,Hidup
Sepenuh Hati” itu. Aku putari setiap kelok-kelok kalimatnya dan mencoba merasai
setiap pesan yang beliau hamburkan lewat berpotong-potong paragraf yang
judulnya diberi nama “Senyum Bulan Sabit”. Menerobosi pohon-pohon semangatnya
yang mengobar pada tiap kata sederhana yang tertangkap maknanya olehku.
Sejuknya segenggam pesan justru mengobarkan secercah semangat. Jika boleh aku menciplak secuil kalimat oleh
Sastrawan ternama itu juga akan aku teriakkan “kesadaranku tergugat, tergurah,
dan tergugah!”
Aku mencoba menyadur kembali pesannya dengan
bahasaku sendiri. “Senyum Bulan Sabit”, sebenarnya tak lain ialah penggalan
kata dari namaku sendiri dalam bahasa Asing tapi lagi-lagi penggalan namaku
menjadi tak penting di taman pesan ini. Lakon utamanya lagi-lagi bukanlah aku
tapi si bulan sabit. Yang walau ukurannya jauh lebih mungil dr bulan purnama,
walau cahaya yang ia silaukan jauh lebih redup dari bulan purnama, ia adalah sang prakarsa, sang penanda bahwa
fase awal telah dimulai, sang penanda hari-hari mulia dan Agung. Sang prakarsa yang
meng’indah’kan dirinya karenya selalu
tersenyum, coba kau intip bagaimana ia merekah pada malam hari. Tak pernah
sekalipun lengkungannya itu terbalik menyorakkan senyum cemberut. Lalu apakah
pemandangannya hanya sebatas itu?
Sejatinya jejak yang ia tinggalkan hanya memproklamirkan
sebuah proses, karena bulan bahkan rumput pun tak akan pernah luput dari kata
proses apalagi seorang manusia dan segala tatanan kehidupannya. Jangan hanya
terlena di tengah lautan kehidupan memandang totalitas sang bulan pernama. Karena
lebih dulu ia direnda sebagai “Senyum bulan sabit”, tanda pertunjukan optimisme
dan kegembiraannya. Sekiranya kita pernah cemburu dan mengiri karena sukses dan berhasilnya
seseorang, kita lupa bagaimana mereka optimis, gembira, dan konsistennya mereka
untuk merajut renda-rendanya menjadi sang bulan purnama. Lalu selang beberapa
lama sang bulan purnama akan menjelma kembali menjadi sang bulan sabit. Lalu silahkan menafsirkannya sendiri. Hehe.
Begitu pula diriku yang seringkali lupa bahwa
menulis ialah proses, yang harus kuserukan dengan kegembiraan serta optimisme. Karena
kata sang penulis buku tersebut, dibalik optimisme selalu mendekam
harapan-harapan.. J
No comments:
Post a Comment