Subuh
ini seperti biasanya tak pernah lagi ada pagi yang terlewatkan tanpa menjemput
matahari. Entah mengapa jadi malu rasanya jika tak menjemput. Semakin lama
semakin banyak pula untaian makna yang menyirati jiwa seiring kebersamaanku
menjemputnya. Ia begitu dingin, tapi kemudian begitu hangat hingga bahkan
menyengat. Tapi ia ‘memberi’ begitu banyak sumber kehidupan kepada makhluk-Nya.
Andai saja ia menenggelamkanku dalam lingkar pemberi kehidupan itu. Ahh.. aku
hanya bocah kecil yang berkhayal baknya matahari memberi cahaya. “Lalu cahaya
apa yang aku punya?” bisikku pesimis
Sembari
menjemput pagi mari kita merenung tentang siklus kehidupan yang begitu umum, terlahir
sebagai manusia, belajar merangkak hingga berjalan, belajar berbicara, kemudian
menempuh pendidikan SD-SMP-SMA, menempuh pendidikan tingkat Perguruan Tinggi ,
kerja, menikah, punya anak, kemudian, punya cucu dan sebagainya. Lalu apakah
hanya sekedar itu? Setidaknya
menjemput matahari memberiku sedikit ruang untuk berimajinasi menyilaukan
cahaya sedikit demi sedikit. “Emm Aku hanya perlu mengumpulkan cahaya untuk
disilaukan” kataku mulai optimis. Tapi tunggu dulu, “apakah ada yang kebetulan
dengan nama ‘Cahaya Bulan’ pemberian kedua orang tuaku?”tanyaku dalam hati.
Bulan juga tak mempunyai cahaya, sama sepertiku. Ia hanya memantulkan cahaya dari
sang matahari yang sering kujemput itu. Aku mulai mengerti.
Mari
kembali pada dunia nyata yang harus dijalani. Entah statusnya berupa apa, sudah
menjadi kewajiban untuk menjadi seorang pembelajar. Hanya kebetulan saja
tersandang label “mahasiswi” pada ragaku. Sebagai mahasiswi asal luar pulau
Jawa yang baru pertama kalinya menuntut ilmu di pulau Jawa, aku cukup terkesan dengan
gigihnya sang pembelajar menuntut ilmu di tanah ini. Kesenjangan pendidikan
memang tak bisa dipungkiri, bahwa mereka di luar sana banyak yang tak mampu
menikmati indahnya menuntut ilmu di tanah ini.
Seperti
pada tulisan sebelumnya aku hanya melihat ada yang memang begitu berbeda dengan
kebijakan tertentu yang telang dirancang sedemikian rupa sehingga pembelajarnya
benar-benar jor-jor-an menuntut ilmu di kampus ini. “Be one hundred percent or get
zero” begitu kata salah seorang dosen cantik yang sempat memukauku nampak
dengan segala kesederhanaannya dibalik keluarbiasaan beliau (sepertinya akan
ada tulisan edisi khusus tentang sosok ibu yang satu ini).
Memang
benar bahwa kebijakan dan ‘aturan main’ menjadi momok mahasiswa baru. Sistem ‘drop
out’ yang sangat ketat. Sehingga membuat mahasiswi mengebu-gebu dengan semangat
juang yang tinggi menjulang hingga ke langit untuk belajar mati-matian agar
terhindar dari musibah ‘drop out’ itu. Jika kita berjalan-jalan ke kampus akan
terlihat bagaimana para mahasiswa dengan giatnya berjalan sambil mengulang
materi kuliah, perpustakaan yang tidak pernah sepi hingga malam hari sekalipun
(terutama pada musim UTS dan UAS), kelompok belajar bertebaran di setiap sudut kampus dan kosan.
Kembali
hanya meluruskan niat ketika ‘ujian’ yang menjadi ‘penentu’ itu tiba. Di tengah
tuntutan sistem seperti itu kadang kala sang perusak jiwa yang tak terlihat itu
(read: setan) menggodaku untuk berbuat curang pada saat ujian ketika ada sela ‘kesempatan’
untuk berbuat curang. “Apakah kita belajar mati-matian hanya untuk sebuah huruf
‘nilai’ yang tercantum pada academic record?” tanyaku pada salah seorang teman
seperjuangan. “Kita kan dituntut seperti itu lal” katanya.
Aku hanya teringat pada rutinitas menjemput pagi dan tentang segala nilai-nilai
kehidupan yang kuyakini. Tentang cita-cita kecil nan sederhana untuk memberi
cahaya walau sadar tak punya cahaya. Hingga berkhayal lagi jika bahkan aku tak
punya cahaya itu, akan kukejar dan kutangkap dia lalu kukurung dia dalam jiwaku.
Tapi ternyata aku salah. Cahaya itu sebenarnya sudah dianugerahkan sang
Pencipta bersemayam pada diri sendiri. Hanya saja butuh sedikit trik untuk
menghadirkan atau menyilaukannya sekalipun. Bukankah kita terlahir sebagai
manusia yang luar biasa? Hingga dalam penciptaan pun, Tuhan menyeru pada
malaikat dan jin untuk bersujud pada Adam. Akhirnya kusimpulkan saja, ketika
diri ini gelap dan kotor mana mungkin bisa menjadi terang? Cahaya itu muncul
ketika kita mampu membersihkan segala dimensi yang ada pada diri.
Ketika
diberi label oleh dikti sebagai ‘calon dosen’ kembali lagi meluruskan niat.
Menjadi dosen hanyalah sebuah label. Pada akhirnya diri kita lah yang
menentukan ingin menjadi apa.. bisa jadi kita menjadi sekedar ‘pengajar’ atau menjadi ‘pendidik’. Setelah berkecimpung di dunia pendidikan selama
bertahun-tahun tentu saja aku bercita-cita menjadi “pendidik”. Bagaimana
mungkin ketika aku bercita-cita menjadi pendidik yang berlabel dosen kemudian tetap
saja berbuat curang. "Lalu cahaya apa yang akan kuberi nantinya?"