Friday, November 1, 2013

Cahaya Matahari vs Cahaya Bulan


Subuh ini seperti biasanya tak pernah lagi ada pagi yang terlewatkan tanpa menjemput matahari. Entah mengapa jadi malu rasanya jika tak menjemput. Semakin lama semakin banyak pula untaian makna yang menyirati jiwa seiring kebersamaanku menjemputnya. Ia begitu dingin, tapi kemudian begitu hangat hingga bahkan menyengat. Tapi ia ‘memberi’ begitu banyak sumber kehidupan kepada makhluk-Nya. Andai saja ia menenggelamkanku dalam lingkar pemberi kehidupan itu. Ahh.. aku hanya bocah kecil yang berkhayal baknya matahari memberi cahaya. “Lalu cahaya apa yang aku punya?” bisikku pesimis

Sembari menjemput pagi mari kita merenung tentang siklus kehidupan yang begitu umum, terlahir sebagai manusia, belajar merangkak hingga berjalan, belajar berbicara, kemudian menempuh pendidikan SD-SMP-SMA, menempuh pendidikan tingkat Perguruan Tinggi , kerja, menikah, punya anak, kemudian, punya cucu dan sebagainya. Lalu apakah hanya sekedar itu? Setidaknya menjemput matahari memberiku sedikit ruang untuk berimajinasi menyilaukan cahaya sedikit demi sedikit. “Emm Aku hanya perlu mengumpulkan cahaya untuk disilaukan” kataku mulai optimis. Tapi tunggu dulu, “apakah ada yang kebetulan dengan nama ‘Cahaya Bulan’ pemberian kedua orang tuaku?”tanyaku dalam hati. Bulan juga tak mempunyai cahaya, sama sepertiku. Ia hanya memantulkan cahaya dari sang matahari yang sering kujemput itu. Aku mulai mengerti.

Mari kembali pada dunia nyata yang harus dijalani. Entah statusnya berupa apa, sudah menjadi kewajiban untuk menjadi seorang pembelajar. Hanya kebetulan saja tersandang label “mahasiswi” pada ragaku. Sebagai mahasiswi asal luar pulau Jawa yang baru pertama kalinya menuntut ilmu di pulau Jawa, aku cukup terkesan dengan gigihnya sang pembelajar menuntut ilmu di tanah ini. Kesenjangan pendidikan memang tak bisa dipungkiri, bahwa mereka di luar sana banyak yang tak mampu menikmati indahnya menuntut ilmu di tanah ini.

Seperti pada tulisan sebelumnya aku hanya melihat ada yang memang begitu berbeda dengan kebijakan tertentu yang telang dirancang sedemikian rupa sehingga pembelajarnya benar-benar jor-jor-an menuntut ilmu di kampus ini. “Be one hundred percent or get zero” begitu kata salah seorang dosen cantik yang sempat memukauku nampak dengan segala kesederhanaannya dibalik keluarbiasaan beliau (sepertinya akan ada tulisan edisi khusus tentang sosok ibu yang satu ini).

Memang benar bahwa kebijakan dan ‘aturan main’ menjadi momok mahasiswa baru. Sistem ‘drop out’ yang sangat ketat. Sehingga membuat mahasiswi mengebu-gebu dengan semangat juang yang tinggi menjulang hingga ke langit untuk belajar mati-matian agar terhindar dari musibah ‘drop out’ itu. Jika kita berjalan-jalan ke kampus akan terlihat bagaimana para mahasiswa dengan giatnya berjalan sambil mengulang materi kuliah, perpustakaan yang tidak pernah sepi hingga malam hari sekalipun (terutama pada musim UTS dan UAS), kelompok belajar bertebaran di setiap sudut kampus dan kosan.

Kembali hanya meluruskan niat ketika ‘ujian’ yang menjadi ‘penentu’ itu tiba. Di tengah tuntutan sistem seperti itu kadang kala sang perusak jiwa yang tak terlihat itu (read: setan) menggodaku untuk berbuat curang pada saat ujian ketika ada sela ‘kesempatan’ untuk berbuat curang. “Apakah kita belajar mati-matian hanya untuk sebuah huruf ‘nilai’ yang tercantum pada academic record?” tanyaku pada salah seorang teman seperjuangan. “Kita kan dituntut seperti itu lal” katanya.

Aku hanya teringat pada rutinitas menjemput pagi dan tentang segala nilai-nilai kehidupan yang kuyakini. Tentang cita-cita kecil nan sederhana untuk memberi cahaya walau sadar tak punya cahaya. Hingga berkhayal lagi jika bahkan aku tak punya cahaya itu, akan kukejar dan kutangkap dia lalu kukurung dia dalam jiwaku. Tapi ternyata aku salah. Cahaya itu sebenarnya sudah dianugerahkan sang Pencipta bersemayam pada diri sendiri. Hanya saja butuh sedikit trik untuk menghadirkan atau menyilaukannya sekalipun. Bukankah kita terlahir sebagai manusia yang luar biasa? Hingga dalam penciptaan pun, Tuhan menyeru pada malaikat dan jin untuk bersujud pada Adam. Akhirnya kusimpulkan saja, ketika diri ini gelap dan kotor mana mungkin bisa menjadi terang? Cahaya itu muncul ketika kita mampu membersihkan segala dimensi yang ada pada diri.


Ketika diberi label oleh dikti sebagai ‘calon dosen’ kembali lagi meluruskan niat. Menjadi dosen hanyalah sebuah label. Pada akhirnya diri kita lah yang menentukan ingin menjadi apa.. bisa jadi kita menjadi sekedar ‘pengajar’ atau menjadi ‘pendidik’. Setelah berkecimpung di dunia pendidikan selama bertahun-tahun tentu saja aku bercita-cita menjadi “pendidik”. Bagaimana mungkin ketika aku bercita-cita menjadi pendidik yang berlabel dosen kemudian tetap saja berbuat curang. "Lalu cahaya apa yang akan kuberi nantinya?"

No comments:

Post a Comment