Wednesday, October 23, 2013

Dua Puluh Tiga


Seketika saja terhenyuk ketika membaca notes dari salah seorang teman serumpun bugis yang berada dalam perantauan. “Tepat dua bulan”, kataku dalam hati.  Masih terbayang 23 agustus 2013 tepat pukul 15 wita aku, ayah, ibu dan adik2 ku mengantarku ke bandara. Entah berapa perjalanan yang telah terlewatkan. Hingga sesesorang menjuluki “besar di jalan” karena ragaku yang tak bias diam pada suatu tempat di daratan muka bumi ini. “BumiNya begitu luas dan begitu indah” kataku. Tak mau mata ini menyia-nyiakan betapa sang Pencipta melukis indahnya semesta. Jika semesta yang Dia lukis saja seindah ini,bagaimana dengan keindahanNya..? Tapi kali ini adalah kali pertama mereka mengiringku hingga ke tempat pesawat-pesawat itu mendarat.  Mungkin karena ini adalah kali pertama aku akan berada dalam perantauan dalam beberapa kali pergantian musim.
Tepat dua bulan berpijak di tanah sunda, mengejar hasrat yang tak terbendung oleh hausnya ilmu. Aku berdiam diri dalam petak kamar 3 kali 5 meter, buku berserakan dimana-mana. Tapi khas dengan suara gemericik air mengalir bak air terjun tumpah dalam akuarium. Ya, tepat dua bulan bersama dinding hijau ini. Sudah dua minggu lebih buku-buku ini bersebaran di lantai dan entah berapa pagi yang terlewatkan lebih pagi dari biasanya. Kota ini memang benar-benar merubah alarm bawah sadarku, mengurangi detik demi detik waktu dimana raga harus kembali peraduannya. “Bukannya orang-orang yang hebat itu tidurnya sedikit?” tanyaku. sepertinya raga ini harus terbiasa dengan semakin cepatnya 24 jam sehari terlalui dari hari ke hari.  Mengapa harus seperti ini? Ini bukan resiko yang harus ditanggung sebagai seorang penuntut ilmu seperti kata orang terhadapku. Ini adalah kebutuhan si penuntut ilmu. Dan sungguh betapapunair laut dijadikan tinta, dan daun-daun di seluruh jagat ini di jadikan kertas nya,masih belum cukup untuk menuliskan ilmuNya.

Ada yang berbeda ketika suatu sistem tertentu dirancang sedemikian rupa sehingga membuat penuntut ilmu di kampus yang selalu di ikonkan dengan kata “pertanian” ,hingga banyak yang kadang mengira bahwa di kampus ini penuh dengan sawah, menjadi lebih agresif. Kelompok diskusi dimana-mana. Jiwanya tak pernah merasa cukup. Bahkan kabarnya, salah seorang teman serumpun Sulawesi hanya rehat sejenak bersujud dan mengisi perut yang kosong. Selebihnya? Sedang asyik berkencan dengan sang buku.. :) 

No comments:

Post a Comment