Seketika saja terhenyuk ketika
membaca notes dari salah seorang teman serumpun bugis yang berada dalam
perantauan. “Tepat dua bulan”, kataku dalam hati. Masih terbayang 23 agustus 2013 tepat pukul
15 wita aku, ayah, ibu dan adik2 ku mengantarku ke bandara. Entah berapa
perjalanan yang telah terlewatkan. Hingga sesesorang menjuluki “besar di jalan”
karena ragaku yang tak bias diam pada suatu tempat di daratan muka bumi ini.
“BumiNya begitu luas dan begitu indah” kataku. Tak mau mata ini menyia-nyiakan
betapa sang Pencipta melukis indahnya semesta. Jika semesta yang Dia lukis saja
seindah ini,bagaimana dengan keindahanNya..? Tapi kali ini adalah kali pertama
mereka mengiringku hingga ke tempat pesawat-pesawat itu mendarat. Mungkin karena ini adalah kali pertama aku
akan berada dalam perantauan dalam beberapa kali pergantian musim.
Tepat dua bulan berpijak di tanah
sunda, mengejar hasrat yang tak terbendung oleh hausnya ilmu. Aku berdiam diri
dalam petak kamar 3 kali 5 meter, buku berserakan dimana-mana. Tapi khas dengan
suara gemericik air mengalir bak air terjun tumpah dalam akuarium. Ya, tepat
dua bulan bersama dinding hijau ini. Sudah dua minggu
lebih buku-buku ini bersebaran di lantai dan entah berapa pagi yang terlewatkan
lebih pagi dari biasanya. Kota ini memang benar-benar merubah alarm bawah
sadarku, mengurangi detik demi detik waktu dimana raga harus kembali
peraduannya. “Bukannya orang-orang yang hebat itu tidurnya sedikit?” tanyaku.
sepertinya raga ini harus terbiasa dengan semakin cepatnya 24 jam sehari
terlalui dari hari ke hari. Mengapa
harus seperti ini? Ini bukan resiko yang harus ditanggung sebagai seorang
penuntut ilmu seperti kata orang terhadapku. Ini adalah kebutuhan si penuntut
ilmu. Dan sungguh betapapunair
laut dijadikan tinta, dan daun-daun di seluruh jagat ini di jadikan kertas
nya,masih belum cukup untuk menuliskan ilmuNya.
Ada yang berbeda ketika suatu sistem tertentu
dirancang sedemikian rupa sehingga membuat penuntut ilmu di kampus yang selalu
di ikonkan dengan kata “pertanian” ,hingga banyak yang kadang mengira bahwa di
kampus ini penuh dengan sawah, menjadi lebih agresif. Kelompok diskusi
dimana-mana. Jiwanya tak pernah merasa cukup. Bahkan kabarnya, salah seorang
teman serumpun Sulawesi hanya rehat sejenak bersujud dan mengisi perut yang
kosong. Selebihnya? Sedang asyik berkencan dengan sang buku.. :)
No comments:
Post a Comment